Sekarang Jadi Pembahasan Di Media Sosial, Beginilah Sejarah Rohingnya Dan Nasib Mereka Yang Terlunta-lunta

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Artikel ini akan membahas secara singkat sejarah Rohingnya dan nasib mereka yang terlunta-lunta, tidak diakui oleh pemerintah Myanmar dan terombang-ambing di tengah laut.

Intisari-Online.com -Etnis Rohingnya tengah jadi obrolan di kalangan kelas menengah di media sosial.

Obrolan berkisar tentang nasib mereka yang mereka yang terlunta, kenapa mereka meminta pertolongan di Indonesia, dan kenapa ada masyarakat yang menolak kehadiran mereka.

Artikel ini akan memaparkan secara singkat sejarah Rohingnya dan riwayat nasib mereka yang terlunta-lunta.

Rohingnya sendiri merujuk pada minoritas muslim yang berada di Negara Bagian Rakhine (Arakan), Myanmar.

Jika melihat ke belakang, keberadaan etnis Rohingnya di Myanmar sudah ada sejak abad ke-7.

Ketika itu, Rakhine, dulunya bernama Arakan, adalah tujuan orang-orang dari India.

Rakhine terletak di sisi barat Myanmar yang berbatasan langsung dengan Teluk Benggala.

Rakhine berada tepat di seberang Benggala, India.

Bagaimanapun juga, Rakhine adalah wilayah yang strategiskarena menjadi pusat perdagangan dan pintu masuk gerbang Myanmar.

Banyak pedagang dari seluruh dunia yang singgah di situ.

Termasuk para pedagang muslim dari Jazirah Arab.

Jadi, etnis Rohingya terbentuk dari keturunan pedagang Arab yang menetap di sana dan muslim dari Benggala.

India dan Myanmar dulunya merupakan bagian dari wilayah penjajahan Inggris, dari 1824–1886.

Penjajah Inggris membawa imigran Benggali dari Wilayah Chittagong yang berbatasan langsung dengan Burma bagian barat untuk bekerja di perkebunan Arakan yang subur.

Sehingga penjajahan Inggris memiliki kebijakan terhadap kaum Benggali dan Rohignya di Burma.

Kebijakan Inggris menjadikan muslim Rohingya sebagai kaum mayoritas di beberapa kota besar seperti Rangoon, Akyab, Bassein, dan Moulmein.

Namun, saat itu kaum urma di bawah penguasaan Inggris merasa tidak nyaman dengan imigrasi besar-besaran tersebut.

Etnis mayoritas Burma mengusir muslim Rohingya dan menyebabkan mereka melarikan diri ke Burma bagian utara.

Pada tahun 1942 hingga 1943, Jepang masuk ke Burma dan melakukan penyerangan terhadap Inggris.

Saat itu Inggris kalah dan daerah kekuasaanya termasuk daerah Muslim Rohingya berhasil diduduki oleh Jepang

Akibatnya Jepang melakukan tindakan diskriminasi terhadap Muslim Rohingya.

Meski awalnya merasa kalah, Inggris menyerang Jepang dengan strategi gerilya yang disebut V Force.

Warga Muslim Rohignya memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan Burma dengan melakukan perlawanan terhadap Jepang.

Pada Oktober 1947 diadakan Konferensi London untuk membahas kemerdekaan Burma.

Berdasarkan konferensi tersebut, Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Burma pada 4 Januari 1948.

Peristiwa tersebut menjadi momen terakhir Aung San yang saat itu dipilih sebagai pemimpin Anti-Fascist People's Freedom League (AFPFL) meninggal karena ditembak mati oleh lawan politiknya.

U Nu yang menjabat sebagai wakil presidn AFPFL terpilih sebagai Perdana Menteri Burma.

Ketika itu, kepentingan politik baik dari komunitas Muslim maupun Buddha sangat diatur oleh pemerintah pusat Burma di Rangoon.

Status komunitas Muslim di Burma sebagai warga negara bagian tidak pernah dijamin.

Padahal, umat Islam di Burma secara jelas telah mendapatkan empat kursi dalam parlemen.

Di awal kemerdekaan Burma, Perdana Menteri U Nu mengecewakan Muslim Rohingya karena warga Muslim tidak dimasukkan dalam kategori kelompok minoritas pada draf konstitusi Burma.

Padahal sesuai AFPFL, semua Muslim Burma diperlakukan sama dengan etnis Burma lainnya.

Namun, dalam kebijakan tersebut tidak memberikan jaminan bagi umat Muslim.

Diskriminasi etnis Rohingya memuncak ketika pemerintah Myanmar menghapus etnis Rohingya dari daftar etnis dan ras negaranya yang terlihat dalam “UU Kewarganegaraan Burma 1982”.

Myanmar memiliki 135 etnis dan Rohingya tidak termasuk etnis tersebut.

Pembantaian etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine merupakan hasil dari transformasi politik negara itu saat ini.

Penganiayaan yang mengarah pada Genosida dibuktikan oleh Operation King Dragon atau Operation Naga Min 1978, yakni upaya deportasi guna pembersihan etnis terhadap ratusan ribu masyarakat Rohingya.

Mengakibatkan 200.000 - 250.000 orang melarikan diri ke Bangladesh.

Semenjak etnis Rohingya tidak dianggap sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar, mereka disiksa dan ditahan.

Akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada etnis Rohingya, membuat mereka pergi untuk mengungsi ke negara-negara seperti Thailand, Indonesia, India, dan Malaysia.

Itulah artikel yang membahas secara singkat sejarah Rohingnya dan nasib mereka yang terlunta-lunta dan tidak diakui oleh pemerintah Myanmar.

Artikel Terkait