Penulis
Intisari-Online.com -Warga Jakarta kemungkinan besar pernah mendengar nama Jan Pieterzoon Coen atau JP Coen. Akan tetapi kalau nama dan riwayat Souw Beng Kong, rasanya masih agak asing.
Dua nama besar bagi sejarah Jakarta di masa silam itu sebenarnya saling terkait erat. Meski kolaborasi di antara keduanya selaku penguasa dan pengusaha, terjadi lebih dari 5 abad silam.
Untuk memahami lebih jauh hubungan dua tokoh itu, Sahabat Museum bekerja sama dengan Majalah Intisari, mengadakan acara Plesiran Tempo Doeloe (PTD) bertema “Perkongsian J.P. Coen & Souw Beng Kong”.
PTD yang diadakan Sahabat Museum untuk ke-188 kali ini berlangsung Minggu (26/11), diikuti 23 peserta.
Rute yang diambil dalam PTD kali ini bermula dari kawasan di samping Stasiun Kota, menelusuri kawasan di sekitar Kali Besar, kemudian menuju Jalan Pangeran Jayakarta.
Perjalanan dimulai dengan memperkenalkan kawasan perkantoran di depan Stasiun Kota yang dulu menjadi lokasi kantor beberapa bank.
Di kawasan itu antara lain ada kantor de Javasche Bank (sekarang menjadi museum Bank Indonesia), kantor Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij (sekarang jadi Bank Mandiri) dan Nederlandsche Handel-Maatschappij (sekarang jadi Museum Bank Mandiri).
Di masa jauh sebelumnya, kawasan ini masuk di dalam area Tembok Kota Batavia yang mulai dibangun pada 1619.
Ada beberapa bangunan penting di dalam kawasan yang eksklusif kala itu. Antara lain di lokasi Museum Bank Indonesia sekarang, pernah berdiri sebuah rumah sakit Binnenhospital.
Rumah sakit yang didirikan pada 1643 itu adalah rumah sakit pertama di Batavia. Tentu saja khusus melayani para pegawai VOC dan orang-orang kaya Belanda saat itu.
Sayangnya karena lingkungan yang tidak sehat akibat kelembapan udara, banyaknya sampah, dan buruknya sistem sanitasi; sakitnya para pasien justru malah bertambah parah.
“Rumah sakit jadi kayak tempat menanti ajal,” terang Nadia Purwestri, narasumber dari Pusat Dokumentasi Arsitektur.
Binnenhospital akhirnya ditutup pada 1880.
Peserta juga diajak melihat Kali Besar atau sebenarnya bernama Sungai Krukut yang melintas di tengah kota Batavia masa lalu.
Kali Besar pernah menjadi jalur transportasi penting bagi kapal-kapal dari Pelabuhan Sunda menuju ke dalam kota.
Setelah beberapa kali ditata oleh pemerintah kolonial, kawasan di sekitar Kali Besar berkembang menjadi kawasan bisnis bergengsi. Perusahaan-perusahaan besar, terutama perusahaan asuransi, banyak berkantor di kawasan ini.
“Situasi ini bertahan sampai akhirnya pemerintah membangun kawasan di sekitar Jalan Thamrin hingga Sudirman,”jelas Ade Purnama, narasumber dari Sahabat Museum.
Di tengah cuaca yang cukup terik siang itu, peserta PTD berkesempatan singgah sejenak di Toko Merah.
Setelah sempat kosong beberapa waktu, kini bangunan Toko Merah difungsikan sebagai kafe.
Meski belum sepenuhnya selesai direnovasi, peserta bisa melongok sedikit interior dari bangunan yang didirikan pada 1730 ini. Di sinilah rumah bagi Gubernur Jenderal VOC, Gustaaf Willem baron van Imhoff, serta setidaknya 5 gubernur jenderal lain setelahnya.
Usai menikmati segelas kopi dingin, peserta meninggalkan kawasan Kota Tua menuju ke Jalan Pangeran Jayakarta. Peserta menggunakan KRL dari Stasiun Kota menuju Stasiun Pangeran Jayakarta.
Di kawasan Pangeran Jayakarta, peserta barulah maklum kalau nama kawasan ini rupanya diambil dari keberadaan Makam Keramat Raden Ateng Kertadria.
Ada suatu masa, oleh sebagian orang, Raden Ateng disebut juga sebagai Pangeran Jayakarta. Meski sebenarnya menurut sejarah, tokoh Pangeran Jayakarta adalah penguasa keturunan Banten yang hidup pada abad ke-17.
“Ada perbedaan sekitar seratus tahun antara Raden Ateng dengan tokoh Pangeran Jayakarta yang makamnya sekarang ada di Jatinegara Kaum,” terang Ade Purnama.
Keberadaan Raden Ateng sebenarnya lebih terkait dengan Pieter Eberveld, keturunan Jerman dan Siam yang dikenal sebagai tuan tanah di Batavia abad ke-18.
Karena tanahnya banyak disita Belanda, Pieter merencanakan perlawanan bersama teman-temannya, antara lain Raden Ateng.
Sayangnya rencana itu bocor sebelum terlaksana, sehingga Pieter dan Raden Ateng akhirnya dihukum dengan cara yang sadis pada 1722.
Sebagai akhir dari perjalanan PTD, peserta mendatangi makam Souw Beng Kong yang masih berada di kawasan Jalan Pangeran Jayakarta.
Menurut penjelasan Ade Purnama, Souw Beng Kong bisa disebut sebagai tokoh yang “komplet”.
Tokoh yang diangkat VOC sebagai Kapitan Cina Pertama pada 1619 ini dikenal sebagai pengusaha, pemimpin, negosiator, penarik pajak, dan sebagainya.
Sebagai penguasa Batavia saat itu, JP Coen banyak berhubungan dengan Souw Beng Kong untuk ikut memajukan Batavia, terutama di bidang perekonomian.
Souw Beng Kong meninggal pada 1644, Makamnya berada di sebuah lahan seluas 20.000 meter persegi.
Akan tetapi seiring waktu, tanah di sekitar makam berubah jadi pemukiman penduduk yang pastinya liar.
Bahkan sebelum akhirnya diselamatkan dan dibebaskan lahannya oleh Yayasan Souw Beng Kong pada 2002, makam sudah nyaris hilang tertutup rumah-rumah penduduk.
Hari ini sebenarnya kondisi makam masih tetap memprihatinkan karena tidak terlalu terawat. Rumput yang tumbuh tinggi, sampah, dan jemuran milik warga sekitar jadi pemandangan di sekitar makam.
Akankah suatu saat makam bersejarah ini akan kembali menghilang?