Mengenal Sosok Nuruddin ar-Ranini, Mufti Kerajaan Aceh Yang Punya Peran Penting Dalam Perkembangan Islam Di Nusantara

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Beliau adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Perannya dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan. Beliau adalah Nuruddin Ar-Raniri

Intisari-Online.com -"Beliau adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Perannya dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan. Beliau adalah..."

Dialah Nuruddin ar-Raniri, mufti Kerajaan Aceh asal Gujarat yang punya peran penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Seperti disinggung di awal, Syekh Nuruddin ar-Ranini merupakannegarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17.

Perannya dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan, khususnya di Aceh.

Namanya tidak hanya dikenal sebagai ulama dari Gujarat yang memiliki peran besar dalam menyebarkan Islam di Aceh.

Lebih dari itu, Ar-Ranini juga adalah mufti alias penasihatpenguasa Kerajaan Aceh.

Syekh Nuruddin ar-Raniri lahir di Gujarat, India, pada sekitar akhir abad ke-16.

Dikutip dari Kompas.com, ayah Ar-Raniri masih punya darah Arab Hadhramaut, sementara ibunya keturunan Melayu.

Sejak kecil, Syekh Nuruddin ar-Raniri belajar ilmu agama dari para ulama ternama.

Di antaranya adalah guru Tarekat Rifaiyah keturunan Hadhramaut, Hujarat Abu Nafs Syayid Imam bin Abdullah bin Syaiban dan Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syayban al-Tarimi al-Hadhrami atau Sayyid Umar al-Alaydrus.

Setelah sekian lama belajar dan dipercaya sebagai pucuk pimpinan Tarekat Aydarusiyah dan Rifaiyah, Syekh Nuruddin ar-Raniri membuat beberapa karya mengenai dunia Melayu.

Beragam informasi mengenai tradisi, budaya, dan keagamaan Melayu, didapatkannya dari pamannya dari garis ayah, yang lebih dulu berkarier di Aceh.

Tidak hanya di india, Syekh Nuruddin ar-Raniri belajar agama hingga ke Hadhramaut di Arab Selatan, yang dikenal sebagai negeri para habib, kemudian ke Mekkah dan Madinah.

Menjadi mufti Kesultanan Aceh

Sebelum tinggal di Aceh, Syekh Nuruddin ar-Raniri diperkirakan sudah pernah datang ke Serambi Mekkah, tetapi hanya sebentar.

Pada 1636, Syekh Nuruddin ar-Raniri kembali ke Aceh dan langsung diangkat menjadi mufti Kesultanan Aceh oleh Sultan Iskandar Thani (1636- 1641) yang baru saja naik takhta.

Sebagai mufti kesultanan, Syekh Nuruddin ar-Raniri berperan dalam memberi nasihat kepada sultan atau sultanah yang berkuasa.

Jabatan mufti atau syaikhul Islam memiliki pengaruh besar dalam pembuatan kebijakan-kebijakan keagamaan, sosial, dan politik.

Pada 1641, Sultan Iskandar Thani meninggal dan digantikan oleh permaisurinya, Sultanah Tajul-Alam Safiatuddin Syah, yang memerintah hingga 1675.

Pada masa inilah, Syekh Nuruddin ar-Raniri pernah menengahi protes keras dari Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan yang menguntungkan para pedagang Gujarat.

Dengan otoritasnya sebagai mufti kerajaan, Syekh ar-Raniri berhasil meyakinkan Sultanah Safiatuddin untuk menarik regulasi tersebut.

Di masa ini pula, Syekh Nuruddin ar-Raniri menulis kitab berjudul Tibyan fi Ma'rifah al-Dyan, yang menganalisis ajaran wujudiyah Hamzah Fansury dan Syamsuddin as-Sumatrani.

Syekh Nuruddin ar-Raniri adalah sosok pembaru Islam di Aceh yang menganggap doktrin wujudiyah, yang menjadi keyakinan masyarakat Aceh masa itu, sebagai aliran sesat.

Sebagai mufti kerajaan, ia akhirnya mengeluarkan fatwa menentang aliran wujudiyah, yang dikhawatirkan mendorong umat menjadi kafir.

Syekh Nuruddin ar-Raniri tercatat sebagai ulama, mufti, ahli fikih, tasawuf, sekaligus penulis yang produktif.

Selain Tibyan fi Ma'rifah al-Dyan, ia juga menulis kitab yang menjadi sumber sejarah Kerajaan Aceh.

Nama kitab karya Syekh Nuruddin ar-Raniri yang menjadi sumber sejarah Kesultanan Aceh adalah Bustan As-Salatin atau Taman Raja-Raja.

Berikut ini beberapa karya Syekh Nuruddin ar-Raniri yang terkenal, dan beberapa di antaranya masih digunakan sebagai pegangan hingga saat ini.

Bustan As-Salatin

Ash-Shirah Al-Mustaqim

Durrat Al-Fara’idh bi Syarhi Al-‘Aqa’id

Syifa’ Al-qulub

Nubzah fi Da’wah az-Zil

Nuruddin ar-Raniri menjadi penasihat Kerajaan Aceh hingga 1640-an.

Dia meninggal pada 21 September 1658 di kampung halamannya di India.

Menurut sejumlah pendapat, Syekh Nuruddin ar-Raniri kembali ke India setelah dikalahkan oleh dua murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebataan umum.

Artikel Terkait