Find Us On Social Media :

Blambangan, Kerajaan Hindu Terakhir di Jawa yang Takluk di Tangan VOC

By Afif Khoirul M, Minggu, 19 November 2023 | 13:15 WIB

Kerajaan Blambangan adalah kerajaan Hindu terakhir.

Intisari-online.com - Menurut tradisi setempat, kerajaan Blambangan didirikan oleh raja Aji Saka pada abad ke-12 Masehi, yang merupakan keturunan dari raja Kalingga.

Aji Saka datang ke Jawa dengan membawa ajaran Hindu dan membunuh raja Dora, yang dikenal sebagai raja ular yang jahat.

Aji Saka kemudian membagi wilayah Jawa menjadi dua, yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat.

Jawa Timur diberikan kepada putranya yang bernama Aji Saka Dua, yang kemudian mendirikan kerajaan Blambangan.

Kerajaan Blambangan memiliki hubungan erat dengan kerajaan Majapahit, yang merupakan kerajaan Hindu terbesar di Nusantara pada masa itu.

Kerajaan Blambangan merupakan salah satu vasal Majapahit yang tetap setia kepada raja Hindu.

Bahkan, Blambangan menjadi tempat pelarian bagi beberapa anggota keluarga Majapahit yang tersingkir atau terancam.

Salah satu tokoh penting yang melarikan diri ke Blambangan adalah Bhre Wirabhumi, putra raja Majapahit Kertawijaya, yang gagal merebut takhta dari saudaranya Bhre Kertabumi.

Bhre Wirabhumi kemudian mendirikan kerajaan sendiri di Blambangan dengan nama Kerajaan Daha.

Setelah Bhre Kertabumi tewas oleh pasukan Demak pada 1478, keluarganya juga melarikan diri ke Blambangan, dipimpin oleh Lembu Miruda.

Lembu Miruda kemudian mendirikan pertapaan Watuputih di hutan Blambangan dan berdoa agar putranya menjadi raja di ujung timur Pulau Jawa.

Baca Juga: Sejarah Rohingya, Dari Kerajaan Islam di Myanmar hingga Pengungsian di Aceh

Doanya pun terkabul, menjelang awal abad ke-16, cucu Lembu Miruda yang bernama Bima Koncar telah meneguhkan dirinya sebagai raja Blambangan.

Perlawanan Kerajaan Blambangan

Kerajaan Blambangan berhasil mempertahankan kemerdekaannya dari Mataram dan VOC karena beberapa faktor.

Pertama, kerajaan ini memiliki letak geografis yang strategis, yaitu di antara dua gunung berapi, yaitu Gunung Raung dan Gunung Ijen.

Kedua gunung ini membentuk benteng alami yang sulit ditembus oleh musuh.

Kedua, kerajaan ini memiliki hubungan baik dengan kerajaan Bali, yang juga merupakan kerajaan Hindu yang tetap setia kepada ajaran leluhurnya.

Kerajaan Blambangan dan Bali saling membantu dalam hal militer, ekonomi, dan budaya.

Kerajaan Blambangan menghadapi serangan pertama dari Mataram pada tahun 1639, ketika Sultan Agung mengirim pasukan untuk menaklukkan Blambangan sebagai bagian dari ekspansi Islam di Jawa.

Namun, serangan ini gagal karena pasukan Mataram tidak mampu menembus pertahanan Blambangan.

Serangan kedua terjadi pada tahun 1648, ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh putranya, Amangkurat I.

Amangkurat I mengirim pasukan yang lebih besar dan lebih kuat untuk menyerbu Blambangan.

Baca Juga: Sejarah Rohingya, Dari Kerajaan Islam di Myanmar hingga Pengungsian di Aceh

Serangan ini juga gagal karena pasukan Blambangan dibantu oleh pasukan Bali dan Belanda.

Belanda, yang saat itu sudah memiliki benteng di Batavia, melihat Blambangan sebagai sekutu potensial untuk mengimbangi kekuatan Mataram.

Belanda juga tertarik dengan sumber daya alam Blambangan, seperti lada, emas, dan kayu.

Serangan ketiga terjadi pada tahun 1677, ketika Amangkurat I meninggal dan digantikan oleh putranya, Amangkurat II.

Amangkurat II menghadapi pemberontakan dari saudaranya, Pangeran Puger, yang kemudian menjadi raja Mataram dengan nama Pakubuwana I.

Amangkurat II meminta bantuan Belanda untuk menghadapi pemberontakan ini, dengan imbalan memberikan wilayah Blambangan kepada Belanda.

Belanda pun menyetujui permintaan ini dan mengirim pasukan untuk menyerang Blambangan.

Serangan ini berhasil menguasai sebagian besar wilayah Blambangan, kecuali daerah Bayu, yang menjadi pusat perlawanan Blambangan.

Di sini, raja Blambangan, bersama dengan ratusan prajuritnya, melakukan puputan atau perang bunuh diri melawan pasukan Belanda.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1679 dan dikenal sebagai Puputan Bayu, yang menjadi titik akhir perlawanan Blambangan.