Dari Sultan ke Residen, Transformasi Politik Kerajaan Banjar di Bawah Pengaruh Belanda

Afif Khoirul M

Penulis

(Ilustrasi) Masjid Sultan Suriansyah - Salah Satu Peninggalan Kerajaan Banjar

Intisari-online.com - Kerajaan Banjar adalah salah satu kerajaan Islam tertua dan terbesar di Kalimantan.

Kerajaan ini berdiri sejak abad ke-16 dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17 dan ke-18.

Kerajaan Banjar memiliki hubungan perdagangan dan diplomasi dengan berbagai negara, termasuk Belanda, Inggris, Siam, Jawa, dan Makassar.

Namun, hubungan antara Kerajaan Banjar dan Belanda tidak selalu harmonis.

Sejak awal kedatangan Belanda di Kalimantan pada tahun 1606, Belanda berusaha untuk menguasai sumber daya alam dan perdagangan di wilayah Kerajaan Banjar, terutama lada, emas, dan intan.

Belanda juga ingin menjadikan Kerajaan Banjar sebagai basis untuk menghadapi persaingan dengan Inggris dan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Untuk mencapai tujuannya, Belanda melakukan berbagai cara, mulai dari perjanjian, intervensi, ancaman, hingga perang.

Belanda berhasil mendapatkan beberapa konsesi dari Kerajaan Banjar, seperti hak monopoli perdagangan, pembayaran upeti, dan pengiriman bantuan militer.

Namun, Kerajaan Banjar tidak mau menyerah begitu saja.

Kerajaan Banjar melakukan perlawanan, baik secara terbuka maupun diam-diam, melalui pemberontakan, persekutuan, dan diplomasi.

Akibatnya, terjadi konflik-konflik berkepanjangan antara Kerajaan Banjar dan Belanda, yang berdampak besar bagi masyarakat Banjar.

Baca Juga: Ini Hasil Interaksi Budaya pada Masa Kerajaan Islam di Indonesia

Salah satu dampaknya adalah transformasi politik Kerajaan Banjar di bawah pengaruh Belanda.

Transformasi ini dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:

- Struktur pemerintahan. Belanda mencampuri urusan dalam negeri Kerajaan Banjar dengan menunjuk dan mengganti sultan-sultan sesuai kepentingannya.

Belanda juga membagi-bagi wilayah Kerajaan Banjar menjadi beberapa daerah otonom yang dipimpin oleh para bupati yang loyal kepada Belanda.

Selain itu, Belanda menempatkan residen-residen sebagai wakilnya di Kerajaan Banjar, yang memiliki kekuasaan lebih besar daripada sultan.

Dengan demikian, struktur pemerintahan Kerajaan Banjar menjadi semakin terfragmentasi dan tergantung kepada Belanda.

- Sistem hukum. Belanda mengubah sistem hukum Kerajaan Banjar yang berdasarkan hukum Islam dan adat menjadi hukum kolonial.

Belanda menerapkan hukum-hukum yang menguntungkan kepentingannya, seperti hukum monopoli, hukum tanah, dan hukum pajak.

Belanda juga mengadili para pejuang dan pemberontak Banjar dengan hukuman-hukuman yang berat, seperti hukuman mati, hukuman kerja paksa, dan hukuman pengasingan.

- Identitas budaya. Belanda mempengaruhi identitas budaya Kerajaan Banjar dengan cara mengenalkan dan menyebarkan budaya Belanda, seperti bahasa, agama, pendidikan, dan seni.

Belanda juga mencoba untuk menghapus atau mengubah budaya Banjar yang dianggap bertentangan dengan kepentingan Belanda, seperti agama Islam, kesultanan, dan perlawanan.

Baca Juga: 7 Peninggalan Kerajaan Banjar, Termasuk Masjid Tertua di Kalimantan

Namun, masyarakat Banjar tidak sepenuhnya menerima budaya Belanda.

Mereka juga berusaha untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya Banjar, seperti sastra, musik, dan tarian.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa transformasi politik Kerajaan Banjar di bawah pengaruh Belanda adalah sebuah proses yang kompleks dan dinamis.

Proses ini melibatkan berbagai faktor, seperti ekonomi, militer, sosial, dan budaya.

Proses ini juga menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif, bagi Kerajaan Banjar dan masyarakat Banjar.

Proses ini merupakan bagian dari sejarah Kerajaan Banjar yang penting untuk dipelajari dan dihargai.

Artikel Terkait