Penulis
Intisari-online.com -Perang Aceh adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang menandai akhir dari eksistensi Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Islam terakhir di Nusantara yang berdiri selama empat abad.
Perang ini berlangsung dari tahun 1873 hingga 1903 antara Aceh dan Belanda, yang saat itu merupakan penguasa kolonial di Indonesia.
Perang Aceh dipicu oleh ambisi Belanda untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia, termasuk Aceh yang memiliki posisi strategis di jalur perdagangan internasional.
Belanda juga ingin mengamankan sumber daya alam Aceh, seperti lada, emas, dan minyak.
Selain itu, Belanda merasa terancam oleh hubungan Aceh dengan negara-negara lain, seperti Turki, Inggris, dan Prancis, yang memberikan dukungan politik dan militer kepada Aceh .
Perang Aceh terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase pertama (1873-1874), fase kedua (1874-1896), dan fase ketiga (1896-1903).
Fase pertama dimulai dengan serangan Belanda ke ibu kota Aceh, Kutaraja (sekarang Banda Aceh), pada tanggal 8 April 1873.
Belanda berhasil menguasai istana sultan, tetapi tidak dapat menangkap Sultan Mahmud Syah, yang melarikan diri ke pedalaman.
Aceh kemudian melakukan perlawanan dengan melakukan serangan gerilya dan peperangan tradisional.
Fase pertama berakhir dengan perjanjian damai antara Belanda dan Aceh pada tanggal 26 Maret 1874, yang mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh, tetapi memberikan otonomi kepada Aceh dalam urusan dalam negeri.
Fase kedua dimulai dengan pelanggaran perjanjian damai oleh Belanda, yang mencoba mengintervensi urusan dalam negeri Aceh.
Baca Juga: Sosok Dalem Bedahulu, Penguasa Terakhir Kerajaan Bali yang Hilang Misterius
Aceh kembali melakukan perlawanan dengan dipimpin oleh Teuku Umar, seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai panglima perang Aceh.
Teuku Umar berhasil mengalahkan pasukan Belanda dalam beberapa pertempuran, seperti pertempuran Meulaboh, Samalanga, dan Lam Teungoh.
Namun, Teuku Umar gugur dalam pertempuran Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Fase kedua berakhir dengan kematian Teuku Umar dan penangkapan istrinya, Cut Nyak Dhien, yang juga merupakan pejuang Aceh yang gigih.
Fase ketiga dimulai dengan perubahan strategi Belanda, yang mengganti komandan militer mereka dengan Jenderal J.B. van Heutsz, seorang ahli dalam peperangan kolonial.
Van Heutsz menerapkan taktik yang disebut "pacificatie" atau pemaksaan damai, yang melibatkan penghancuran desa-desa, pembunuhan massal, pembakaran tanaman, dan penangkapan pemimpin-pemimpin Aceh. Van Heutsz juga membentuk pasukan bantuan yang terdiri dari tentara-tentara lokal yang disebut marechaussee, yang dilatih dan dipersenjatai oleh Belanda.
Fase ketiga berakhir dengan penyerahan diri Sultan Muhammad Daud Syah, penguasa terakhir dari Kerajaan Aceh, kepada Belanda pada tanggal 26 Januari 1903.
Perang Aceh memiliki dampak yang besar bagi Aceh, Belanda, dan Indonesia.
Bagi Aceh, perang ini mengakhiri keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam, yang merupakan simbol kejayaan Islam di Nusantara.
Baca Juga: Kesultanan Ternate, Kerajaan Islam Tertua di Nusantara yang Masih Berdiri Hingga Kini
Perang ini juga menyebabkan kerusakan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang parah di Aceh, yang mempengaruhi kondisi Aceh hingga saat ini.
Bagi Belanda, perang ini merupakan perang kolonial terpanjang dan tersulit yang pernah mereka lakukan, yang menelan banyak korban jiwa dan biaya.
Perang ini juga menimbulkan kritik dan protes dari masyarakat Belanda dan internasional, yang mengecam kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Belanda di Aceh.
Bagi Indonesia, perang ini merupakan salah satu peristiwa yang menginspirasi perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Perang ini juga melahirkan banyak pahlawan nasional Indonesia, seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan lain-lain, yang menjadi panutan dan teladan bagi generasi-generasi berikutnya.