Mengenang “Indonesia Raya” Dari Pasar Baru

Tjahjo Widyasmoro

Penulis

Para peserta acara Plesiran Tempo Doeloe (PTD) berpose di depan Toko Sutra Putih di Pasar Baru yang sebagian bangunannya masih berupa peninggalan bangunan zaman dahulu.

Intisari-Online.com - Di zaman kiwari, kita mengenal lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dalam aransemen yang resmi. Resmi artinya lagu hasil aransemen komponis asal Belanda, Jos Cleber. Aransemen ini oleh Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1958 dinyatakan tidak boleh diubah-ubah lagi.

Tak banyak yang tahu, pada awal masa kelahirannya dulu, “Indonesia Raya” sebenarnya pernah hadir dalam beragam versi. Salah satunya langgam keroncong. Bukan cuma aransemennya saja yang terasa unik. Kisah di balik rekaman lagu itu juga jadi cerita menarik.

Untuk mengenang lebih dekat perjalanan lagu Indonesia dalam langgam keroncong, komunitas Sahabat Museum bekerja sama dengan Majalah Intisari kembali menggelar Plesiran Tempo Doeloe (PTD) Minggu (29/10). PTD ke-187 kalinya ini diikuti 29 peserta dan menelusuri kawasan di sekitar Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Pasar Baru? Lagi-lagi tak banyak yang menyadari, keberadaan lagu Indonesia Raya sesungguhnya erat kaitannya dengan kawasan pertokoan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1820 ini. Dari pusat perdagangan inilah, lagu kebangsaan itu menyebar dan dikenal masyarakat luas dalam bentuk rekaman.

Seperti biasa, PTD diawali dengan penjelasan latar belakang pendirian “Passer Baroe” yang dibangun untuk melayani penduduk di kawasan Rijswijk atau sekarang dikenal sebagai Jalan Veteran.

Pasar Baru beda dengan pasar-pasar “lama” saat itu, seperti Pasar Senen atau Pasar Tanah Abang. Pasar-pasar lama terbentuk karena pertemuan antar-petani dari kawasan yang berbeda. Tak heran lokasi pasar selalu di persimpangan jalan.

“Sedangkan Pasar Baru adalah pasar yang sengaja dibangun pemerintah, karena itu disebut ‘baru’,” tutur Nadia Purwestri, narasumber PTD dari Pusat Dokumentasi Arsitektur.

Di tengah cuaca yang terasa cukup menyengat, peserta PTD diajak mengenal beberapa bangunan yang identik dengan Pasar Baru. Antara lain bekas Toko Kompak, kini Toko Sutra Putih, Gedung Antara, bekas ruko lama tempat toko olahraga Kuck, bekas rumah Tio Tek Hong, dan bekas Toko Tio Tek Hong.

Sayangnya, tak semua bangunan dalam kondisi baik. Seperti Toko Kompak yang ternyata sudah tidak terawat, sejak kosong beberapa tahun terakhir. Bangunan ruko asli bergaya Tionghoa yang konon sudah berdiri sejak tahun 1800 (lebih awal dari Pasar Baru) terlihat rusak di beberapa bagian.

Toko Kompak ketika masih bernama Sin Siong Bouw pernah jadi kediaman Mayor Tio Tek Ho (1857-1908) satu dari lima Mayor Cina di Batavia. “Di depan jadi toko, sedangkan di belakang ada rumah tempat tinggal. Sama dengan konsep ruko sekarang ini,” terang Ade Purnama, narasumber dari Sahabat Museum.

Perjalanan menelusuri Jalan Antara juga cukup menarik, karena ada beberapa bangunan lama yang masih bertahan. Antara lain gedung Antara serta sebuah ruko lama di ujung jalan pertemuan dengan Jalan Pintu Air.

Gedung Antara yang saat ini sedang direnovasi, di masa lalu juga merupakan gedung dari kantor berita Algemeen Niews en Telegraaf Agentschaap (Aneta). Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan RI, menyebar melalui saluran Radio Domei yang ada di gedung ini.

Gedung artistik bergaya art deco ini merupakan salah satu dari 68 gedung hasil rancangan arsitek CF Wolff Schoemaker. Arsitek Belanda kelahiran Semarang itu juga yang merancang gedung-gedung ikonik antara lainVilla Isola, Gereja Katedral Santo Petrus di Bandung, Bioskop Majestik, dan Masjid Cipaganti.

Berani rekaman

Dalam PTD kali ini tersebutlah dua nama yang berhubungan dengan Pasar Baru dan “Indonesia Raya”, yaitu Tio Tek Hong dan Yo Kim Tjan.

Di Pasar Baru, Tio Tek Hong dan saudaranya Tio Tek Tjoe dikenal sebagai pengusaha toserba modern pertama yakni toko yang mempunyai label harga pasti. Toko yang berlokasi di Jalan Pasar Baru No. 93 kini sudah menjadi toko jam Populer.

Sukses berdagang ritel, Tio Tek Hong belakangan juga menjual fonograf sekaligus memproduksi platgramofoon. Lewat rekaman yang diproduksi NV Tio Tek Hong inilah, lagu-lagu melayu, keroncong stambul, dan musik-musik tradisi kala itu, menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air.

Setelah era Malaise, Toko Tio Tek Hong atau yang dikenal juga sebagai Toko Populair berganti kepemilikan ke Yo Kim Tjan. Pengusaha inilah yang kemudian bersama Orkes Musik Populair berani merekam lagu “Indonesia Raya” setelah sebelumnya WR Supratman ditolak oleh NV Tio Tek Hong dan Toko Odeon milik orang Belanda.

Dalam rekaman, lagu “Indonesia Raya” sengaja dibuat tidak mencolok. Lagu ini direkam bersama lagu-lagu keroncong lain yang populer saat itu.

Dari hasil penelusurannya, Ade Purnama sendiri belum bisa memastikan peran Tio Tek Hong selain ikut memperdagangkan rekaman piringan hitam lagu “Indonesia Raya” secara komersial.

“Setelah Sumpah Pemuda memang ada beberapa perusahaan yang merekam lagu itu seperti Lokananta Solo,” tutur Ade yang juga mengajak peserta PTD singgah di bekas rumah Tio Tek Hong di Jalan Pintu Air yang kini sudah digunakan sebagai kedai kopi.

Dua rumah ibadah

Destinasi terakhir dalam PTD kali ini cukup menarik, karena peserta mengunjungi dua tempat ibadah yang berbeda. Yakni Vihara Buddha Dharma Gotama, kemudian GPIB Pniel.

Berlokasi di Jalan Lautze, Vihara Buddha Dharma Gotama atau Wan Kiap Sie adalah salah satu vihara tertua di Jakarta yang bangunannya sudah berdiri sejak 1736. Sebelumnya lokasi ini adalah landhuis milik Frederik Julius Coyett, anggota dewan Hindia-Belanda yang memiliki ketertarikan terhadap Hindu Buddha.

“Karena minatnya itu Coyett juga mengumpulkan arca-arca dari berbagai tempat, seperti Candi Prambanan dan juga dari Srilangka,” jelas Nadia Purwestri. Arca-arca tersebut saat ini masih tersimpan di lemari kaca yang ada di kelenteng.

Setelah Coyett meninggal, rumah sempat berganti-ganti pemilik hingga pada 1761 dibeli oleh Gong-guan (Dewan Orang Tionghoa) dan dijadkan kelenteng. Saat singgah di kelenteng, peserta PTD disambut hangat oleh pengurus setempat. Ada ruangan berpendingin udara dan kudapan dihidangkan.

Persinggahan terakhir PTD adalah di GPIB Pniel di Jalan Samanhudi atau juga dikenal sebagai “gereja ayam”. Bangunan gereja yang mulai dipergunakan sejak 1915 ini ternyata adalah bangunan kedua, setelah sebelumnya umat beribadah di kapel kecil sejak tahun 1856.

Gereja ini punya sejarah menarik karena dibangun khusus untuk umat lokal saat itu. “Tidak ada perbedaan di sini,” jelas para pengurus gereja ketika menjelaskan latar belakang pendirian rumah ibadah. Situasinya agak berbeda dengan GPIB Imanuel di Jalan Medan Merdeka Utara yang ketika itu umatnya berasal dari para petinggi Belanda.

Gereja ini punya koleksi menarik berupa alkitab berbahasa Belanda yang konon hanya ada dua di dunia; di sebuah perpustakaan di Belanda serta di gereja ini. Karena usia, alkitab tua itu pernah rusak parah dan direstorasi di Belanda pada awal 1991. Dua tahun kemudian dikembalikan lagi dan ditempatkan pada bagian altar gereja ini.

Artikel Terkait