Akhir Perjuangan Tuanku Imam Bonjol, Dari Penangkapan Hingga Pengasingan di Cianjur

Afif Khoirul M

Penulis

Sosok Tuanku Imam Bonjol pejuang kemerdekaan yang ditangkap Belanda.

Intisari-online.com - Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berperan penting dalam Perang Padri, sebuah perlawanan rakyat Minangkabau terhadap penjajahan Belanda pada abad ke-19.

Ia dikenal sebagai ulama, pemimpin, dan pejuang yang gigih dan berani menghadapi musuh.

Namun, bagaimana kisah akhir perjuangannya? Bagaimana ia ditangkap dan diasingkan oleh Belanda?

Kisahnya bermula dari Perang Padri berlangsung selama 35 tahun, dari tahun 1803 hingga 1838.

Perang ini melibatkan tiga pihak, yaitu kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dan Harimau Nan Salapan, kaum Adat yang dipimpin oleh Datuk Bandaro dan Datuk Rajo Taba, dan tentara Belanda yang dipimpin oleh Jenderal De Kock.

Kaum Padri adalah kelompok yang ingin menerapkan syariat Islam secara murni dan menentang adat istiadat Minangkabau yang dianggap bertentangan dengan Islam.

Kaum Adat adalah kelompok yang ingin mempertahankan adat istiadat Minangkabau dan bekerja sama dengan Belanda untuk mengalahkan kaum Padri.

Tentara Belanda adalah kelompok yang ingin menguasai wilayah Minangkabau dan memanfaatkan sumber daya alamnya.

Perang Padri berlangsung sengit dan melelahkan bagi semua pihak. Banyak korban jiwa dan harta benda yang berjatuhan.

Namun, kaum Padri tidak pernah menyerah dan terus berjuang dengan semangat jihad.

Mereka berhasil menguasai beberapa benteng pertahanan Belanda, seperti Fort de Kock, Fort Agam, Fort Bukittinggi, dan Fort Payakumbuh.

Baca Juga: 15 Contoh Peristiwa Sejarah yang Pernah Terjadi di Indonesia

Mereka juga berhasil mengalahkan beberapa pasukan Belanda dalam pertempuran-pertempuran besar, seperti Pertempuran Lubuk Jambi, Pertempuran Muaro Sijunjung, Pertempuran Sulit Air, Pertempuran Batipuh Selatan, dan Pertempuran Bonjol.

Namun, keberhasilan kaum Padri tidak berlangsung lama.

Belanda terus mengirimkan bala bantuan dan persenjataan yang lebih modern dan canggih.

Mereka juga berhasil membujuk sebagian besar kaum Adat untuk berpihak kepada mereka dengan menjanjikan perlindungan dan kesejahteraan.

Akibatnya, kaum Padri semakin terdesak dan terisolasi.

Mereka hanya memiliki satu benteng pertahanan terakhir, yaitu Bonjol, tempat kelahiran dan markas besar Tuanku Imam Bonjol.

Pada tahun 1832, Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap Bonjol.

Mereka mengepung benteng tersebut dengan pasukan yang berjumlah sekitar 10 ribu orang.

Mereka juga membawa meriam-meriam besar yang mampu menembus tembok benteng. Serangan ini berlangsung selama enam tahun, dari tahun 1832 hingga 1837.

Selama itu pula, Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya bertahan dengan gigih dan pantang menyerah.

Mereka melakukan serangan-serangan balasan dengan menggunakan senjata tradisional seperti tombak, pedang, parang, dan senapan lantak (senapan rakitan).

Baca Juga: Bagaimana Pengaruh Peristiwa Sumpah Pemuda Terhadap Kehidupan Masyarakat Saat Ini?

Mereka juga melakukan taktik perang gerilya dengan menyergap musuh di hutan-hutan dan lembah-lembah.

Namun, akhirnya pada tanggal 16 Agustus 1837, benteng Bonjol jatuh ke tangan Belanda setelah ditembus oleh meriam-meriam besar mereka.

Tuanku Imam Bonjol berhasil melarikan diri bersama sebagian pengikutnya ke daerah Mandailing di Sumatra Utara.

Namun, ia tidak bisa lama bersembunyi di sana karena daerah tersebut juga sudah dikuasai oleh Belanda.

Ia kemudian mencoba melarikan diri ke Aceh, tetapi di tengah perjalanan ia ditangkap oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout pada tanggal 26 Oktober 1837 di Lubuk Sikaping, Pasaman.

Ia kemudian dibawa ke Padang dan ditahan di sana.

Pengasingan Tuanku Imam Bonjol

Setelah ditangkap, Tuanku Imam Bonjol tidak langsung dihukum mati oleh Belanda.

Hal ini karena Belanda menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang berpengaruh dan dihormati oleh rakyat Minangkabau.

Belanda khawatir jika ia dibunuh, maka akan menimbulkan kemarahan dan pemberontakan baru dari rakyat Minangkabau.

Oleh karena itu, Belanda memutuskan untuk mengasingkannya ke tempat yang jauh dari tanah kelahirannya.

Baca Juga: Kisah Gagalnya Perundingan Hoge Veluwe dan Bagaimana Indonesia Melanjutkan Perundingan di Linggarjati

Pada tanggal 8 November 1837, Tuanku Imam Bonjol dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan kapal laut.

Di sana ia ditahan di sebuah rumah yang berada di bawah pengawasan ketat tentara Belanda.

Ia juga dilarang berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk keluarga dan pengikutnya.

Namun hanya diperbolehkan menerima kunjungan dari beberapa tokoh agama dan pejabat Belanda yang ingin mengetahui lebih banyak tentang dirinya.

Namun, pengasingan di Batavia tidak cukup bagi Belanda.

Mereka masih merasa khawatir jika Tuanku Imam Bonjol bisa melarikan diri atau berkomplot dengan musuh-musuh Belanda di Jawa.

Oleh karena itu, pada tanggal 23 Desember 1839, Tuanku Imam Bonjol dibawa ke Cianjur, Jawa Barat dengan kereta kuda.

Di sana ia ditahan di sebuah rumah yang berada di tengah-tengah perkebunan teh milik Belanda. Ia juga dilarang keluar dari rumah tanpa izin dan pengawalan tentara Belanda.

Di Cianjur, Tuanku Imam Bonjol hidup dalam kesendirian dan kesedihan.

Ia merindukan tanah kelahirannya dan keluarganya yang ditinggalkannya.

Kemudian juga merasa kecewa dengan nasib bangsanya yang masih terjajah oleh Belanda. Namun, ia tetap bersabar dan berdoa kepada Allah SWT.

Baca Juga: Apakah Akibat dari Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Terhadap Kehidupan Bangsa Indonesia?

Ia juga tetap menjalankan ibadah dan mengajarkan agama kepada orang-orang yang datang mengunjunginya.

Tuanku Imam Bonjol menghabiskan sisa hidupnya di Cianjur selama 25 tahun.

Ia meninggal dunia pada tanggal 6 November 1864 dalam usia 92 tahun.

Jenazahnya kemudian dibawa ke Manado, Sulawesi Utara dengan kapal laut dan dimakamkan di sana. Makamnya berada di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa.

Demikianlah artikel tentang akhir perjuangan Tuanku Imam Bonjol.

Semoga artikel ini dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi kita semua untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah berkorban demi kemerdekaan Indonesia.

Artikel Terkait