Kerajaan Makassar, Bandar Perdagangan yang Menjadi Sasaran VOC

Afif Khoirul M

Penulis

Kerajaan Makassar menjadi incaran Voc.

Intisari-online.com - Kerajaan Makassar atau kesultanan Makassar adalah salah satu kerajaan besar dan berpengaruh di Nusantara, khususnya di wilayah Indonesia Timur.

Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669), yang dikenal sebagai pahlawan perang Makassar melawan Belanda.

Kerajaan Makassar memiliki pelabuhan Somba Opu yang strategis, karena menjadi penghubung antara Malaka di barat dan Maluku di timur.

Pelabuhan ini juga menerapkan kebijakan ekonomi pintu terbuka, yang memungkinkan semua bangsa untuk datang dan berdagang di sana.

Keberhasilan Kerajaan Makassar dalam bidang perdagangan dan pelayaran membuatnya menjadi pesaing berat bagi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sebuah kongsi dagang Belanda yang beroperasi di Nusantara.

VOC memiliki ambisi untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku, yang merupakan komoditas yang sangat diminati di Eropa.

Namun, keberadaan Kerajaan Makassar mengganggu rencana VOC, karena kerajaan ini tidak mau tunduk pada monopoli perdagangan yang diberlakukan oleh VOC.

Kerajaan Makassar juga menjalin hubungan baik dengan bangsa Portugis, yang merupakan musuh besar VOC.

Konflik antara Kerajaan Makassar dan VOC meletus menjadi perang terbuka pada tahun 1666.

Perang ini melibatkan banyak pihak, baik yang bersekutu dengan Kerajaan Makassar maupun dengan VOC.

Di antara sekutu Kerajaan Makassar adalah kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Banten, Mataram, Tidore, dan Buton.

Baca Juga: Perbedaan Dua Dinasti Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra pada Kerajaan Mataram Kuno

Sedangkan di antara sekutu VOC adalah kerajaan-kerajaan Kristen atau non-Islam, seperti Ternate, Bone, Soppeng, Wajo, dan Luwu.

Perang Makassar berlangsung selama tiga tahun, dengan berbagai pertempuran sengit baik di darat maupun di laut.

Salah satu pertempuran terbesar adalah pengepungan Benteng Somba Opu oleh pasukan VOC dan sekutunya pada tahun 1667.

Benteng ini merupakan pusat pertahanan dan pemerintahan Kerajaan Makassar.

Setelah berbulan-bulan bertahan, benteng ini akhirnya jatuh ke tangan VOC pada tanggal 12 Juni 1667.

Dalam pengepungan ini, banyak harta benda dan arsip kerajaan yang dibakar atau dirampas oleh VOC.

Meskipun Benteng Somba Opu telah direbut, Sultan Hasanuddin tidak menyerah.

Ia terus melanjutkan perlawanan dari benteng lainnya, yaitu Benteng Ujung Pandang (sekarang Benteng Rotterdam).

Namun, karena kekuatan militer dan ekonomi VOC semakin besar, Sultan Hasanuddin akhirnya terpaksa mengadakan perundingan damai dengan VOC pada tahun 1669.

Perundingan ini menghasilkan Perjanjian Bongaya (atau Bungaya), yang isinya sangat merugikan bagi Kerajaan Makassar.

Dalam Perjanjian Bongaya, Kerajaan Makassar harus membayar ganti rugi perang kepada VOC sebesar 100 ribu real Spanyol.

Baca Juga: Gara-Gara Hal Ini, Kerajaan Tidore Punya Hal yang Disegani Dunia

Kerajaan Makassar juga harus menyerahkan sebagian besar wilayahnya kepada VOC dan sekutunya, serta mengizinkan VOC untuk mendirikan benteng-benteng di wilayahnya.

Selain itu, Kerajaan Makassar harus menutup pintu perdagangannya bagi bangsa asing lainnya, kecuali Belanda.

Kerajaan Makassar juga harus mengakui monopoli perdagangan VOC di Maluku dan tidak boleh mengganggu kepentingan VOC di sana.

Perjanjian Bongaya merupakan awal dari runtuhnya kejayaan Kerajaan Makassar sebagai bandar perdagangan di Nusantara Timur.

Perjanjian ini juga memperkuat dominasi VOC di wilayah ini, yang berlangsung hingga abad ke-18.

Perlawanan Kerajaan Makassar terhadap VOC menjadi salah satu peristiwa sejarah yang penting dan menginspirasi, karena menunjukkan semangat juang dan patriotisme rakyat Makassar dalam mempertahankan tanah airnya dari penjajah asing.

Artikel Terkait