Penulis
Ada sejumlah tradisi Jawa Tengah yang masih lestari hingga sekarang, salah satunya adalah tradisi wetonan.
Intisari-Online.com -Ada sejumlah tradisi Jawa Tengah yang masih lestari hingga sekarang.
Tak hanya lestari, tradisi-tradisi yang masih terus dilaksanakan tiap tahunnya itu menjadi benggaan provinsi yang terletak di tengah-tengah Pulau Jawa itu.
Inilah lima tradisi Jawa Tengah yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini.
1. Tradisi Wetonan
Tradisi wetonan merupakansalah satu tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat dari suku Jawa Tengah.
Istilah wetonan dalam bahasa Jawa memiliki arti yaitu untuk memperingati hari kelahiran.
Umumnya tradisi wetonandihelat ketika ada seorang bayi yang usianya telah menginjak 35 hari.
Pada hari ke-35 dari lahirnya sang bayi, keluarga dari bayi tersebut pun akan mengadakan upacara bernama nyelapani.
Istilah nyelapani memiliki bentuk dasar selapan yang artinya ialah sama dengan satu bulan dalam perhitungan Jawa atau 35 hari.
Perhitungan tersebut disesuaikan pada perhitungan hari serta berdasarkan pada penanggalan Masehi yaitu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu serta perhitungan hari sesuai dengan penanggalan Jawa berupa Wage, Pon, Kliwon, Legi dan Pahing.
2. Tradisi Sadran
Tradisi sadranan merupakanupacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa Tengah dan menjadi reminisensi dari upacara Sraddha Hindu yang dilaksanakan pada zaman dahulu.
Masyarakat Jawa melaksanakan upacara Sadran pada bulan Jawa Islam Ruwah tepatnya sebelum bulan puasa atau pada bulan Ramadhan menurut tahun Hijriyah.
Upacara Sadran ini dilaksanakan dengan melakukan ziarah kubur dari makam ke makan dan disertai dengan menabur bunga atau dikenal dengan istilah nyekar.
Sebagai catatan, lapisan masyarakat Jawa yang melaksanakan tradisi upacara adat satu ini tidak hanya umat Islam, akan tetapi ada banyak umat agama lain yang turut merayakan tradisi Sadranan.
Umumnya,nyadran dilaksanakan pada satu bulan sebelum dimulai bulan puasa atau pada 15, 20 serta 23 Ruwah.
Masing-masing daerah di Jawa, umumnya memiliki ciri khas dalam tradisi sadranan ini.
3. Upacara Ruwatan
Ruwatan merupakan salah satu ritual penyucian yang masih dilakukan hingga saat ini oleh sebagian besar masyarakat dari suku Jawa maupun Bali.
Ruwat sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama seperti kata luwar yang maknanya adalah dibebaskan atau dilepaskan.
Upacara Ruwatan maknanya adalah upacara yang dilaksanakan untuk dapat membesarkan maupun melepaskan seseorang dari suatu hukuman atau kutukan yang diberikan oleh sang kuasa dan dapat menimbulkan marabahaya.
Makna dari upacara Ruwatan ialah memohon dengan sepenuh hati agar orang yang melaksanakan ruwat dapat terlepas dari marabahaya dan memperoleh keselamatan diri.
4. Tradisi Syawalan
Syawalan memiliki makna sebagai pertemuan yang telah direncanakan oleh beberapa orang atau bahkan oleh sekelompok masyarakat.
Di mana kelompok tersebut akan bertemu dan melakukan silaturahmi yang berisi ikrar untuk saling memaafkan satu sama lain dan memulai kehidupan baru yang lebih baik.
Tujuannya agar situasi di masa depan dapat menjadi lebih tentram.
Pertemuan syawalan tersebut, dilaksanakan utamanya pada bulan syawal setelah bulan Ramadhan usai.
Bulan Syawal merupakan bulan kesepuluh pada kalender tahun Hijriyah.
Syawalan disebut juga sebagai tradisi halal bi halal, di mana orang-orang akan berkumpul dan mendatangi rumah orang-orang yang mereka kenal untuk meminta maaf pada pemilik rumah, kemudian pemilik rumah pun akan menyambut para tamu dan saling memaafkan.
5. Tradisi Popokan
Tradisi popokan ini masih lestari hingga saat ini dan berawal dari sebuah cerita mengenai seekor harimau.
Konon suatu ketika di Desa Sendang di daerah Jawa Tengah, masyarakat diteror oleh kemunculan dari seekor harimau. Kemunculan hewan tersebut mengusik ketentraman masyarakat.
Dikarenakan masyarakat merasa terganggu, berbagai cara maupun senjata pun telah dikerahkan oleh masyarakat setempat untuk mengusir harimau tersebut, akan tetapi selalu gagal.
Lalu munculah seorang pemuka agama yang memberikan saran agar masyarakat setempat tidak mengusir harimau tersebut dengan kekerasan. Saran tersebut kemudian diikuti oleh masyarakat setempat.
Masyarakat kemudian memopok atau melempari harimau tersebut dengan menggunakan lumpur sawah, kemudian harimau tersebut pun pergi.
Sejak kejadian tersebut, tradisi popokan atau tradisi untuk saling melempar lumpur sawah pun sering digelar.
Tradisi popokan memiliki tujuan untuk menjauhkan kejahatan dan menolak bala yang datang ke daerah Desa Sendang.
Di samping itu, tradisi popokan ini juga menjadi wujud dari rasa syukur yang dirasakan oleh masyarakat kepada sang pencipta dikarenakan telah memberikan keselamatan.
Masyarakat pun mempercayai, bahwa lumpur yang dilemparkan memiliki banyak keberkahan, karenanya alih-alih merasa marah, masyarakat justru senang ketika terkena lemparan lumpur sawah.