Penulis
Intisari-online.com - Nikel adalah salah satu logam strategis yang menjadi andalan ekspor dan industri Indonesia.
Nikel bisa digunakan untuk membuat baja nirkarat, baterai mobil listrik, dan produk lainnya.
Namun, kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia sejak awal 2020 mendapat tentangan dari Uni Eropa, yang menggugat Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Uni Eropa mengklaim bahwa pembatasan ekspor bahan baku Indonesia secara tidak adil telah merugikan industri baja nirkarat di Benua Biru.
Uni Eropa juga menuding bahwa Indonesia melanggar beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan WTO.
Seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Kemudian Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Pada November 2022, panel WTO memutuskan bahwa Indonesia kalah dalam gugatan Uni Eropa.
Namun, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan segera mengajukan banding ke WTO.
Pemerintah berpendapat bahwa keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap dan bahwa kebijakan larangan ekspor bijih nikel diambil untuk mendukung industrialisasi di Indonesia.
Indonesia berharap bahwa upaya bandingnya akan membuahkan hasil positif, seiring dengan perkembangan industri hilir nikel di dalam negeri.
Baca Juga: Indonesia Dijuluki Raja Nikel Dunia Tetapi Mengapa Masih Impor Nikel dari Luar Negeri?
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan menjelaskan, belum matangnya industri hilir di Indonesia menjadi dasar WTO memenangkan gugatan Uni Eropa.
Namun, saat ini pemerintah telah mempersiapkan argumentasi bahwa industri hilir dari produk olahan nikel di dalam negeri sudah kokoh.
"Indonesia sudah mengajukan banding ya ke WTO, namun untuk prosesnya kita belum tahu," kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono.
Ia menambahkan, pengajuan banding Indonesia mengalami antrean yang cukup panjang, sehingga belum bisa dipastikan kapan permasalahan ini akan selesai.
Sementara itu, Uni Eropa tetap bersikeras bahwa Indonesia harus mematuhi putusan WTO dan mencabut larangan ekspor bijih nikel.
Juru bicara Komisi Eropa untuk perdagangan Daniel Rosario mengatakan, Uni Eropa akan terus memantau perkembangan kasus ini dan berharap Indonesia akan mengimplementasikan rekomendasi panel WTO sesegera mungkin.
Siapa yang akan menang dalam sengketa nikel ini?
Apakah Indonesia akan berhasil membela kepentingannya ataukah Uni Eropa akan mendapatkan kompensasi dari Indonesia?
Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan ini.
Yang pasti, nikel Indonesia tetap menjadi komoditas yang diminati oleh banyak negara, terutama China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia dan pemain besar dalam industri mobil listrik.
Nikel Indonesia juga memiliki potensi besar untuk mendukung transisi energi hijau di dunia.
Baca Juga: Kolaka, Luwu Timur, dan Morowali: Tiga Kabupaten dengan Potensi Nikel Terkaya di Indonesia