Penulis
Intisari-online.com -Reog Ponorogo adalah salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Kesenian ini menampilkan pertunjukan tari yang menggabungkan unsur magis, budaya, dan humor.
Salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah Reog Ponorogo adalah Ki Ageng Suryongalam.
Ki Ageng Suryongalam adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI.
Ia memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji dan setelah umur 18 tahun diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram.
Ki Ageng Suryongalam memiliki ilmu tinggi dan sakti mandraguna. Ia menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia.
Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.
Ki Ageng Suryongalam tidak puas dengan kehidupan di istana.
Ia merasa iba melihat penderitaan rakyat jelata yang hidup susah dan tertindas oleh penguasa.
Ia juga tidak setuju dengan kebijakan Sultan Hamengku Buwono VII yang menyerahkan tahta kepada Raden Patah, putra dari Putri Campa yang merupakan selirnya.
Ia merasa bahwa dirinyalah yang lebih berhak menjadi penerus kerajaan Majapahit.
Karena itu, Ki Ageng Suryongalam memutuskan untuk meninggalkan istana dan mengembara ke berbagai daerah.
Ia pernah tinggal di Kroya, Purworejo sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani dan kuli.
Ia juga pernah tinggal di Bali sambil belajar ilmu-ilmu gaib dari para pendeta Hindu.
Di Bali, Ki Ageng Suryongalam menemukan sebuah kesenian yang bernama Barong.
Kesenian ini menampilkan sosok singa atau harimau yang melambangkan kekuatan dan keberanian.
Ki Ageng Suryongalam tertarik dengan kesenian ini dan mempelajarinya dengan tekun.
Ia kemudian membawa kesenian Barong ke Jawa dan mengembangkannya menjadi Reog Ponorogo.
Reog Ponorogo adalah bentuk sindiran dari Ki Ageng Suryongalam terhadap Prabu Brawijaya V yang ditundukkan oleh rayuan wanita.
Dalam Reog Ponorogo, sosok singa atau harimau yang disebut Singo Barong melambangkan Prabu Brawijaya V.
Singo Barong ditunggangi oleh seorang penari yang disebut Bujang Ganong yang melambangkan Putri Campa.
Bujang Ganong memiliki wajah merah dan hidung panjang sebagai simbol ejekan terhadap Putri Campa yang dianggap cantik tapi licik.
Ki Ageng Suryongalam kemudian mendirikan padepokan di daerah Wengker, Ponorogo.
Di sana ia mengajarkan ilmu-ilmu yang ia miliki kepada para muridnya.
Ia juga mengajarkan Reog Ponorogo sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan yang mengandung nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral.
Reog Ponorogo menjadi salah satu identitas budaya masyarakat Ponorogo hingga kini.
Ki Ageng Suryongalam meninggal dunia pada tahun 1962 di usia 70 tahun.
Ia dimakamkan di desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah.
Namanya tetap dikenang sebagai tokoh legendaris yang membawa Reog Ponorogo dari Bali.
Reog Ponorogo sendiri terus berkembang dan dilestarikan oleh generasi penerusnya.
Reog Ponorogo menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang patut dibanggakan.