Penulis
Kiai Syakrim mulai curiga ketika di Lubang Buaya mulai banyak berdatangan pemuda untuk pelatihan militer. Itu sebelum peristiwa G30S.
Intisari-Online.com -Kiai Muhammad Syakrim bisa dibilang sudah cukup matang ketika Peristiwa 30 September 1965 (G30S) terjadi.
Syakrim adalah warga asli Lubang Buaya, lokasi di mana tujuh Pahlawan Revolusi korban G30S dikubur dalam sumur tua.
Peristiwa tersebut kelak lebih sering dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang akhirnya dibubarkan setelah peristiwa berdarah itu.
Terlepas dari itu, peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari itu begitu membekas di benak Syakrim.
"Peristiwa G30S itu kelam, ya kelam," ujar Syakrim ketika ditemui Kompas.com di kediamannya di Kelurahan Lubang Buaya, Jumat (1/10/2021).
Seperti disebut di awal, Syakrim adalah warga asli Lubang Buaya.
Dia tak pernah menyangkajika wilayahnya akan menjadi lokasi pembunuhan terhadap tujuh jenderal TNI Angkatan Darat pada masa pemerintahan Presiden Soekarno itu.
Aktivitas jelang 30 September 1965
Menurut penuturan Syakrim, jauh sebelum peristiwa G30S terjadi, perlahan terjadi perubahan aktivitas warga di wilayahnya.
Lubang Buaya awalnya dikenal sebagai wilayah yang relatif sepi.
Tapi perlahan berubah menjadi ramai menjelang peristiwa berdarah itu.
Di jalanan, dia kerap melihat sejumlah truk mondar-mandir yang memasuki wilayah Lubang Buaya, yang kemudian menurunkan sejumlah pemuda.
Pergerakan truk ini berlangsung siang dan malam.
Belakangan, diketahui bahwa para pemuda yang diturunkan dari truk tersebut ternyata bukanlah warga asli Lubang Buaya atau sekitarnya.
Awalnya, Kiai Syakrim sama sekali tak menaruh kecurigaan terhadap aktivitas para pemuda tersebut.
Namun, lama-kelamaan, kecurigaan itu mulai timbul.
Itu terjadi ketika dia tahu bahwa para pemuda tersebut ternyata menjalani sebuah latihan di dekat rumah teman seangkatannya di Sekolah Rakyat, yang diketahui merupakan simpatisan PKI.
Syakrim kemudian semakin curiga ketika puluhan warga di wilayahnya diajak untuk turut serta mengikuti kamp latihan bersama para pemuda tersebut.
Puluhan warga ini kemudian meminta pendapat kepada dirinya sebagai tokoh agama di wilayah itu perihal ajakan para pemuda tersebut.
Saa itu, Syakrim meminta agar mereka tak menerima ajakan untuk mengikuti latihan bersama mereka.
Jawaban yang diberikan Syakrim tersebut bukan tanpa alasan.
Sebab, sebuah pelatihan ala militer seharusnya berpusat di Halim Perdanakusuma yang merupakan pangkalan udara milik TNI Angkatan Udara, bukan di Lubang Buaya.
Kecurigaan inilah yang menjadi dasar agar puluhan warga tersebut tak bergabung dalam pelatihan kelompok tersebut.
"Sebetulnya latihan kan biasanya di Halim, kok beda latihannya, saya minta mereka jangan ikut," kata Syakrim yang saat itu telah menjadi tokoh warga di wilayahnya.
Di kemudian hari, diketahui bahwa ajakan yang dilakukan pemuda tersebut, menurut Syakrim, berkaitan dengan aktivitas PKI.
Pada saat terjadi Gerakan 30 September, dia mengaku melihat sejumlah jenazah dimasukkan ke dalam sumur.
Namun, dia tidak begitu melihat jelas karena saat melihat itu dia mengaku ditodong sejumlah pemuda yang dia duga bagian dari Pemuda Rakyat.
Tapi Syakrim akhirnya bisa meninggalkan lokasi Lubang Buaya.
Pada Jumat pagi, 1 Oktober 1965, barulah dia mendengar adanya pembunuhan terhadap para jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya.
Lantas, ia mendatangi lokasi itu.
Dia melihat mayat-mayat para jenderal sudah terbaring di atas tanah, setelah sebelumnya sempat dibuang ke dalam sumur tua.
Informasi ini kemudian langsung cepat menyebar di tengah warga di wilayahnya.
Puluhan warga yang sebelumnya meminta pendapat terhadap Syakrim juga menerima kabar terkait pembunuhan para jenderal ini.
Syakrim mengatakan, ketika mendengar peristiwa ini, puluhan warga yang sebelumnya sempat diajak bergabung menjalani latihan kaget.
"Mereka bilang, 'wah benar juga, untung Ustaz larang, kalau masuk (bergabung) bisa ketangkap'. Jadi pada gembira dan terima kasih ke saya," ucap Syakrim.
Diketahui, para korban pembunuhan di Lubang Buaya antara lain, Letjen Ahmad Yani, Mayjen TNI Suprapto, Majen TNI S Parman, Mayjen TNI M T Hartono, Brigjen TNI Sutoyo, Brigjen TNI D I Panjaitan, dan Lettu Piere Tendean.
Syakrim juga punya cerita lain, kali ini terjadi setelah kejadian berdarah yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari.
Ketika itu militer sudah mulai menangkapi orang-orang yang dianggap terkait atau simpatisan PKI.
Dari orang-orang yang ditangkap itu, ada delapan orang yang ternyata berasal dari Lubang Buaya.
Syakrim mendengar kabar itu.
Dia mengaku mengenal kedelapan orang tersebut dan dipastikan tidak berafiliasi dengan PKI.
Syakrim kemudian melaporkan kepada Lurah Lubang Buaya saat itu agar bisa membebaskan delapan warganya.
Ketika melaporkan, yang terjadi saat itu Pak Lurah justru ketakutan.
Lurah tak mau mendatangi Kodam III/Siliwangi karena khawatir ia akan diamankan juga.
Upaya Syakrim untuk membebaskan delapan orang tak berhenti di situ.
Dia lalu membujuk sang Lurah untuk meminjam jabatannya guna membebaskan kedelapan warga tersebut.
Bujukan tersebut ternyata diterima sang Lurah.
Tak berselang lama, dia kemudian berangkat menuju Bandung untuk membebaskan warga Lubang Buaya dengan mengklaim dirinya sebagai Lurah.
Sesampainya di lokasi, ia kemudian bernegosiasi dan meyakinkan petugas bahwa kedelapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan PKI.
Berjam-jam ia bernegosiasi.
"Mereka selamat, jarang yang bisa ditolong (kalau sudah ditangkap). Alhamdulillah bisa ditolong hanya karena saya ngaku lurah," ujar tokoh Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Nurul Ibad.