Penulis
Intisari-Online.com -Siapakah etnis Tionghoa yang ada di Indonesia? Mengapa mereka ada di Batavia? Mengapa mereka banyak tinggal di daerah sekitar Kota Tua?
Untuk menjawab segala pertanyaan menyangkut sejarah etnis Tionghoa itu, Sahabat Museum bekerja sama dengan Majalah Intisari kembali mengadakan acara Plesiran Tempo Doeloe (PTD), Minggu (20/8).
Acara ini adalah penyelenggaraan PTD yang ke-185 kali sejak komunitas Sahabat Museum mengadakannya pertama kali pada 2003.
Sebanyak 72 peserta sudah berkumpul dengan antusias pada pukul 08.00 di halaman Museum Sejarah Jakarta.
Sebelum melangkah menelusuri sejumlah wilayah Pecinan, peserta diberi sedikit bekal kilas balik sejarah tentang asal mula keberadaan etnis Tionghoa di Batavia yang sudah ada sejak abad ke-16.
Dalam pemaparan awal ini, Ade Purnama dari Sahabat Museum dan Nadia Purwestri dari Pusat Dokumentasi Arsitektur bergantian memberikan catatan sejarah tentang keberadaan etnis ini yang mungkin terluput dari perhatian dalam literasi sejarah selama ini.
Diungkapkan bahwa pada saat itu ada sebagian etnis Tionghoa yang memang sengaja didatangkan oleh pemerintah kolonial sebagai pekerja di berbagai proyek pemerintah.
“Etnis Tionghoa sudah sejak dulu dikenal sebagai pekerja yang terampil dan ulet, sehingga pemerintah mencoba dengan bermacam cara untuk mendatangkan mereka,” jelas Nadia menjelaskan situasi Batavia pada abad 16.
Geger pecinan
Pada awalnya kehidupan etnis Tionghoa ini baik-baik saja. Sebagian bahkan hidup di dalam area Tembok Kota Batavia. Namun pada 1740 terjadi pemberontakan oleh etnis Tionghoa karena dipicu perlakuan yang semena-mena dari VOC.
Percobaan pemberontakan ini dapat diatasi oleh VOC. Namun akibatnya sungguh mengerikan, karena terjadi pembantaian ribuan orang Tionghoa oleh Belanda.
Akibat dari pemberontakan, masyarakat etnis Tionghoa diusir dari dalam Tembok Kota Batavia dan dipindahkan ke daerah yang tidak terlalu jauh dari kota. Daerah tersebut sengaja masih ada dalam jangkauan tembakan meriam VOC untuk mengantisipasi jika terjadi pemberontakan.
Untuk melihat dan membayangkan daerah pemukiman yang dibuka lebih dari 300 tahun lalu itu, peserta PTD bergerak ke arah tenggara dari Museum Sejarah Jakarta. Tepatnya menelusuri daerah Jalan Pintu Kecil hingga ke arah Jalan Perniagaan.
Playboy kena batunya
Banyak cerita yang terungkap di sepanjang perjalanan, terutama karena Sahabat Museum bisa menghadirkan perbandingan situasi sekarang dengan foto-foto di masa silam.
Kawasan yang paling banyak menghasilkan cerita, tentu saja kawasan Jalan Perniagaan Raya atau dikenal juga sebagai kawasan Patekoan.
Kawasan yang sudah dibuka sejak 1619 oleh Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, masih menyimpan beberapa peninggalan sejarah. Salah satunya Rumah Keluarga Souw yang saat ini berada persis di sebelah Pusat Grosir Perniagaan.
Di masa lalu, salah satu anggota Rumah Keluarga Souw pernah menjabat sebagai luitenant der Chineezen zaman Hindia-Belanda, yakni Souw Tian Pie.
Rumah ini aslinya berbentuk tripartit yakni tiga bangunan yang dipisahkan kebun. Namun kini sudah jauh mengecil, karena sebagian sudah dipakai untuk tempat-tempat usaha dan pusat grosir.
Di Patekoan ini pula, perserta PTD bisa menyaksikan peninggalan sekolah yang didirikan oleh perkumpulan Tionghoa Hwee Koan (THHK) pada 1901.
Sekolah yang diberi nama Tiong Hoa Hak Tong atau Pa Hua adalah sekolah swasta pertama bagi masyarakat Tionghoa yang mengajarkan pendidikan modern sekaligus ajaran leluhur.
Sekolah ini terus bertahan selama sekitar 65 tahun hingga akhirnya ditutup oleh pemerintah pasca-peristiwa G30S 1965.
Jauh sebelum zaman modern, kawasan Patekoan juga dikenal memiliki tokoh antagonis Oey Tambah Sia. Pemuda kaya raya ini dikenal suka menghambur-hamburkan uang dan mengganggu para perempuan.
Tambah Sia akhirnya terkena batunya saat terlibat dalam suatu pembunuhan. Dia akhirnya dihukum gantung di depan Balai Kota pada 1851.
Klenteng tertua
Meninggalkan Patekoan, pergerakan rombongan PTD menelusuri kawasan Petak Sembilan, langsung menuju Kelenteng Toasebio. Kelenteng yang semula milik keluarga Tan ini sempat hancur karena peristiwa Geger Pecinan dan dibangun kembali pada 1750.
Tak jauh dari klenteng Toasebio, berdiri pula Gereja Santa Maria de Fatima yang bangunannya merupakan bekas tempat tinggal seorang kapitan bermarga Tjioe. Di tanah seluas 1 hektar yang dibeli pada 1953 berdiri sebuah gereja yang terasa unik lantaran arsitektur bangunan aslinya tetap dipertahankan.
Berjalan lagi sekitar 100 meter dari dua tempat bersejarah itu, peserta menjumpai Vihara Dharma Bhakti. Klenteng tertua di Jakarta ini dibangun tahun 1650 oleh Letnan Gou Xun-Guan dengan nama asli Guan Yin Ting.
Sama seperti Klenteng Toasebio, klenteng ini juga terbakar saat Geger Pecinan tetapi akhirnya dibangun kembali. Sayangnya pada 2015 klenteng terbakar lagi dan sampai hari ini masih dalam proses pembangunan kembali.
Kantor Intisari
Bagian akhir perjalanan PTD adalah melintas di kawasan kuliner di Glodok tepatnya di Gang Gloria.
Di tengah cuaca yang panas terik, peserta mendapat segelas Es Kopi Tak Kie yang terasa nikmat. Es kopi legendaris ini sudah berjualan sejak 1927 dan tetap bertahan dengan citarasanya yang khas.
Perjalanan PTD Sahabat Museum ke-185 berakhir di sebuah bangunan di Jalan Pintu Besar Selatan 86. Bangunan yang kini sudah tidak terawat itu pada era 1960-an pernah menjadi kantor redaksi Majalah Intisari, saat majalah ini terbit pertama kali.
Majalah Intisari (dan Harian Kompas) sempat berkantor di gedung itu selama sekitar 9 tahun sebelum akhirnya pindah ke Jalan Palmerah Selatan. Akhir dari perjalanan ini juga menjadi bagian dari peringatan60 tahunmajalah Intisari.