Find Us On Social Media :

Tradisi Carok Di Madura, Benarkah Ini Warisan Belanda Untuk Adu Domba?

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 19 Agustus 2023 | 15:57 WIB

Benarkah tradisi carok yang melekat dengan masyarakat Madura adalah cara Belanda melakukan adu domba?

Benarkah tradisi carok yang melekat dengan masyarakat Madura adalah cara Belanda melakukan adu domba?

Intisari-Online.com - Orang selalu mengaitkan tradisi carok dengan Pulau Madura.

Padahal, jika mengutip dari artikel di Kompas.com berjudul "Carok, Warisan 'Adu Domba' Kolonila Belanda', praktik ini ternyata terhitung baru.

Artinya, tradisi carok yang sekarang dilekatkan dengan Madura baru ada setelah kedatangan Belanda, dan ia adalah tradisi adu domba.

Masih dari artikel yang sama, carok berasal dari bahasa Kawi kuno yang artinya perkelahian.

Carok biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga terkadang juga antarpenduduk desa.

Yang biasanya memicu carok adalah perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.

Carok disebut baru muncul di Madura pada abad ke-18 pada zaman penjajahan Belanda hingga kemudian "seolah" menjadi tradisi di pulau tersebut.

Seperti disebut di awal, carok awalnya adalah sebuah praktik adu domba.

Cerita berawal dari tertangkapnya Sakera, tokoh pejuang asal Pasuruan berdarah Madura, yang berani melawan Belanda.

Pak Sakera lalu dihukum gantung oleh Belanda.

Setelah itu, rakyat Jawa Timur mulai berani melakukan perlawanan terhadap Belanda, bersenjatakan celurit.

Belanda kemudian menghasut golongan keluarga blater (jagoan) untuk menghadapi perlawanan tersebut.

Golongan blater itu dibekali celurit oleh Belanda--untuk merusak citra Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut.

---

Terkait carok, Majalah Intisari edisi 1991 juga pernah mengulasnya.

Begini garis besarnya:

"Secara historis perjalanan rakyat Madura memang banyak diwarnai dengan kekerasan. Pada tahun 1624 Kerajaan Mataram Jawa setelah melalui pertempuran sengit berhasil menguasai Madura.

Namun pada 1670 Trunojoyo, seorang pangeran Madura, dengan segelintir tentaranya berani mengadakan pemberontakan atas Mataram dan berhasil mengusir kekuasaan kerajaan Jawa itu ke luar dari bumi Madura.

Tak puas hanya membebaskan pulau ini, para pemberontak lantas menjelajahi Jawa di mana mereka mengaduk-aduk sebagian kerajaan tersebut (Huub de Jonge, Pembentukan Negara Dengan Kontrak; Sumenep Madura, VOC dan Hindia Belanda, 1680 - 1883).

Sementara itu peneliti Belanda Elly Touwen Bouwsma yang sempat menyebut Madoera, het Sicilie van Java (diterbitkan De Gids 1983), melihat pulau kerapan sapi ini dari sisi lain.

Dulu tanahnya yang tandus dan tak mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, menyebabkan pulau ini amat tergantung pada kiriman beras dari Jawa.

Karena daerah ini tak menghasilkanproduk-produk penting untuk perdagangan antarpulau, timbul tradisi perompakan.

Sampai akhir abad ke-17, pantai timur Laut Jawa terus-menerus dirampok oleh gerombolan orang Madura (Agama. Kebudayaan dan Ekonomi - Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura. Penyunting Dr. Huub de Jonge, Rajawali Pers).

Lekatnya tindak kekerasan dalam sejarah hidup Madura mau tak mau berpengaruh juga pada perilaku kesehariannya, termasuk pemeo-pemeo yang lahir dan berkembang di masyarakatnya.

Misalnya, utang duit bayar duit, utang nyawa bayar nyawa (otang pesse major pesse, otang pate majar pate).

Atau yang lebih spesifik lokana daging bisa ejai, tape mon lokana ate thada' tambana, kejabana ngero dara (luka di badan masih bisa dijahit, tapi luka hati tidak ada obatnya kecuali dengan tumpahan darah).

Kedengarannya memang sadis, tapi itulah gambaran Madura tempo dulu.

Begitu kuatnya mereka mempertahankan nilai-nilai yang disepakati lewat pemeo-pemeo yang tak jarang merangsang orang untuk melakukan tindak carok.

Banyak peristiwa carok, kalau diurut sampai muaranya bersumber pada masalah harga diri, cinta dan martabat yang diusik.

Ihwal kapan sebenarnya praktek carok muncul di daratan penghasil garam ini, tak seorang pun yang tahu.

Sebagai gambaran untuk menelusuri asal muasal carok, bisa dilihat bahwa sampai sekarang masih ada suatu permainan ketangkasan bersenjata yang digemari rakyat yakni ojung.

Permainan mirip carok yang diwarisi turun-temurun ini menggambarkan olah ketangkasan berkelahi antar-kedua pemain yang masing-masing bersenjatakan pentungan rotan untuk melukai lawan.

"Boleh dibilang semacam gladiator Madura. Tapi di sini ada wasit yang bertugas melerai sekiranya salah seorang pemain sudah tak sanggup meneruskan permainan," ujar Edhisetiawan, S.H. pengamat budaya Madura yang tinggal di Sumenep.

Sekitar tahun 1960-an, masih lumrah ke mana-mana orang Madura pergi membawa clurit.

Bahkan pada masa itu lelaki di daerah Kecamatan Batang-Batang (bangkai-bangkai), 20 km timur laut Sumenep yang terkenal dengan caroknya, pergi kondangan pun tak lupa menyelipkan clurit di punggungnya.

Menurut D. Zawawi Imron, penyair daerah tersebut yang juga dikenal sebagai ustadz, selain sebagai senjata untuk bela diri, keberadaan clurit memang ada latar belakang filosofisnya.

"Kaum lelaki di sini menyadari tulang rusuk sebelah kiri jumlahnya kurang satu karena dipakai untuk menciptakan wanita. Nah, untuk menutup kekurangan itulah setiap keluar rumah lelaki Madura harus melengkapinya dengan si bengkok (clurit yang biasanya berbentuk melengkung seperti tulang rusuk)," ujar Zawawi.

Sekarang ini yang namanya carok nyaris tak lagi terdengar. Sebagai gambaran misalnya, di Desa Lombang, Kec. Batang-Batang yang terkenal dengan carok ampu kerem (kalau melakukan carok menghabiskan berpuluh-puluh senjata) hampir tak pernah terdengar peristiwa carok.

"Di masa lalu pelaku carok di daerah sini terkenal sakti. Bahkan menurut penuturan kakek saya, pernah ada carok yang berlangsung selama sehari penuh. Tapi tak satu pun pelakunya mati, meskipun berpuluh-puluh clurit patah. Perkelahian berhenti hanya karena kedua belah pihak sudah kehabisan tenaga," ujar M. Riwani (43), Kepala Desa Lombang saat diwawancarai Intisari pada 1991.

Yang lebih menarik, justru cara aparat desa sekarang ini mengatasi carok. Saat jabatan kepala desa dipegang ayah Riwani sekitar tahun I960, cara mendamaikan pelaku carok cukup unik, meski hanya bersifat simbolik.

Kalau ada carok, pelakunya dipanggil ke kelurahan. Disaksikan kepala desa dan aparat keamanan, kedua pelaku carok disuruh duduk berhadapan.

Pihak yang merasa dirugikan, diberi wewenang memukul pihak lawannya sebanyak tiga kali dengan tangan kosong, sedangkan pihak yang bersalah tidak boleh melakukan pembalasan.

"Meski hanya simbolik, pukulannya tidak main-main. Mereka benar-benar memukul sekuat tenaga. Rasa sakit jelas ada," tutur Riwani. Selesai melancarkan pukulan tiga kali, biasanya diakhiri dengan pukulan tangan pak lurah sekali.

Setelah itu di hadapan saksi kedua pelaku carok lantas disuruh menandatangani surat pernyataan untuk tidak meneruskan permusuhan atau perkelahian.

"Siapa pun yang di kemudian hari masih melakukan pembalasan atau perkelahian, akan berhadapan dengan yang berwajib. Akan diadili sesuai hukum negara yang berlaku," tambah Riwani.

Dalam perjalanan kemudian, tradisi carok ini memang semakin luntur.

"Kini kalau ada masalah biasanya sudah bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Misalnya ada perkawinan yang sudah tidak cocok, sang istri tak lagi suka dengan suaminya lantas merasa cocok dengan orang lain, ya sebaiknya diselesaikan dengan perceraian saja," tambah Riwani.

Penyelesaian secara simbolik semacam ini memang menimbulkan kesan positif, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman.

"Barangkali itu bisa diartikan sebagai tindakan peralihan masa carok ke dunia yang lebih berbudaya tinggi seperti sekarang ini," kilah Zawawi.

Pergeseran nilai dan fungsi

Memang bukan suatu self-defence kalau orang Madura yang berada di tanah kelahirannya, tak sependapat dengan bayangan orang luar tentang carok-clurit plus segala atribut kekerasan yang menyertainya.

"Sesungguhnya, tak adil menilai Madura hanya dari gambaran sepintas tentang carok dan clurit yang nota bene muncul dari persepsi dangkal hal-hal menyangkut tindak kriminal," ujar Edhisetiawan.

"Di mana pun, yang namanya perkelahian satu lawan satu bukan hal yang baru. Pada Abad Pertengahan, di Eropa para ksatria melakukannya dengan pedang. Sedangkan, masyarakat koboi di Amerika duel satu lawan satu memakai pistol," kilah Edhi.

Siapa pun orangnya, kalau harga dirinya diinjak-injak, dihina, pasti akan marah. Yang jelas, rasa tersinggung, marah itu memang bukan milik orang Madura saja.

"Jangan lihat Monumen Clurit di Pamekasan dari sudut negatif. Ujud clurit seperti kobaran api itu justru menggambarkan semangat orang Madura yang tak pernah padam," tambah Edhi.

Kalau ada waktu datanglah ke Madura, coba jalan-jalan ke Pamekasan, Sampang atau Sumenep.

Boleh dibilang, jarang terlihat pria-pria bertampang garang berseragam celana komprang dan baju hitam menyandang clurit. Yang ada justru keramahan orang Madura.

Oleh karena itu, tak kurang Miss Madura pun menyesalkan citra buruk yang terlanjur terbentuk tentang tanah kelahirannya.

"Kami dirugikan dengan citra Madura yang ditampilkan secara keliru di film atau televisi yang seakan-akan hanya menjual sisi buruk Madura dengan clurit atau logat bicara yang dilebih-lebihkan," ujar Mafruha Salam.

Seiring dengan meningkatnya taraf pendidikan serta keberhasilan rakyat mengolah hasil pertanian mereka, teori Bouwsma yang menyebutkan bahwa tandusnya bumi Madura merangsang munculnya kehidupan keras pun tak lagi berlaku.