Find Us On Social Media :

Antara Hukum dan Etika Di Balik Polemik Penangkapan TNI oleh KPK

By Afif Khoirul M, Senin, 31 Juli 2023 | 15:15 WIB

Puspom TNI sebut KPK menyalahi aturan.

Intisari-online.com - Kasus penangkapan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 26 Juni 2023 menimbulkan polemik hukum dan etika antara kedua lembaga.

KPK menetapkan Henri Alfiandi sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun anggaran 2022.

Namun, TNI menganggap bahwa penangkapan tersebut melanggar prosedur dan kode etik militer, serta merendahkan martabat TNI.

Lantas, bagaimana seharusnya penangkapan TNI oleh KPK dilakukan sesuai dengan hukum dan etika?

Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, KPK memiliki wewenang untuk menangani kasus korupsi di instansi manapun, termasuk militer.

Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2022 tentang KPK, yang menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Selain itu, KPK juga berwenang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, KPK tidak perlu meminta izin atau koordinasi terlebih dahulu dengan TNI untuk menetapkan atau menangkap anggota TNI yang diduga terlibat korupsi.

KPK cukup mengikuti prosedur hukum yang berlaku, yaitu memiliki bukti permulaan yang cukup, melakukan operasi tangkap tangan (OTT), dan mengumumkan status tersangka kepada publik.

Hal ini sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum yang menjadi landasan kerja KPK.

Namun, di sisi lain, KPK juga harus memperhatikan aspek etika dalam melakukan penangkapan TNI.

Baca Juga: Di Balik Peristiwa KPK Minta Maaf Ke TNI, Siapa Yang Sebenarnya Boleh Menjadikan Anggota TNI Tersangka Korupsi?