Intisari-online.com - Kasus dugaan korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas) yang menyeret Kepala Basarnas (Kabasarnas) Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan anak buahnya Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka dugaan suap, sedang kisruh.
Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai khilaf atau salah langkah dalam menetapkan dan menangkap para tersangka tanpa koordinasi dengan Polisi Militer TNI (POM TNI).
Menurut UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan.
Bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota TNI.
Namun, dalam Pasal 10 ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal pelaku tindak pidana korupsi adalah anggota TNI, KPK wajib berkoordinasi dengan POM TNI.
Selain itu, berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dalam Pasal 3 ayat (1).
Disebutkan bahwa peradilan militer berwenang mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum atau tindak pidana militer.
Dalam Pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa peradilan militer tidak berwenang mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana korupsi.
Kecuali tindak pidana korupsi tersebut berkaitan dengan pelaksanaan tugas keprajuritan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa prosedur yang seharusnya dilakukan oleh KPK dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI aktif adalah sebagai berikut:
1. Pertama, KPK harus melakukan koordinasi dengan POM TNI sebelum menetapkan status tersangka bagi anggota TNI yang diduga terlibat korupsi.
Baca Juga: Jadi Tersangka Dugaan Suap Alat Bantuan Bencana, Kekayaan Kepala Basarnas Henry Alfiandi Capai 10 M
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR