Penulis
Saridewi Djamini akan menjadi wanita pertama yang dieksekusi hukuman mati oleh Singapura setelah 20 tahun.
Intisari-Online.com -Sudah 20 tahun tak ada wanita yang dieksekusi hukuman mati di Singapura.
Tapi sebentar lagi, rekor itu akan gugur.
Sebentar lagi, Singapura akan melakukan eksekusi hukuman mati terhadap seorang wanita, pertama setelah 20 tahun.
Sosok yang dijatuhi hukuman mati itu adalah Saridewi Djamani, warga negara Singapura.
Dia divonis mati pada2018 karena bersalah memiliki sekitar 30 gram heroin untuk tujuan perdagangan.
Rencananya, eksekusi hukuman mati terhadap Saridewi akan dilaksanakan pada Jumat, 28 Juli 2023 besok.
Eksekusi terhadap Saridewi akan menjadisalah satu dari dua hukuman mati yang berlangsung pada minggu ini.
Saridewi Djamani diringkus setelah melakukan transaksi pada Juni 2016 lalu.
Kala itu, seorang kaki tangan dari Malaysia, Muhammad Haikal Abdullah, menemuinya di blok HDB, flat publik Singapura, sekitar pukul 15.35 waktu setempat.
Haikal menyerahkan kantong plastik berisi obat-obatan, dengan imbalan dua amplop berisi total 15.550 dollar Singapura.
Keduanya tidak menyadari bahwa petugas Biro Narkotika Pusat (CNB) sedang mengawasi.
Tak lama setelah transaksi, Haikal ditangkap di persimpangan lalu lintas saat petugas mendekati lantai 16 flat milik Saridewi untuk menangkapnya.
Kendati demikian, sebelum ditangkap, Saridewi sempat melemparkan kantong plastik berisi obat-obatan keluar dari jendela dapur.
Dia kemudian membuka pintu dan membiarkan petugas CNB yang telah bersiap untuk menggeledah flat dan berakhir menangkapnya.
Bukan hanya memiliki narkotika, Saridewi Djamani kedapatan menjual heroin, methamphetamine, ganja, serta erimin dari flatnya.
Bahkan, warga negara Singapura ini didakwa telah memperdagangkan total satu kilogram obat-obatan yang mengandung 30,72 gram heroin murni.
Hakim Pengadilan Tinggi See Kee Oon mengatakan, Saridewi sama sekali tidak menyangkal telah menjual obat-obatan tersebut.
Namun, wanita itu mencoba untuk memberi keterangan yang memperkecil skala bisnis perdagangan ilegalnya.
Selama persidangan, Saridewi Djamani mengaku hanya berencana untuk menjual 11,71 gram heroin dan menyimpan 19,01 gram sisanya untuk penggunaan pribadi.
Dia bilang, mengalami kecanduan narkoba yang sangat parah selama bulan puasa sehingga asupan heroinnya naik menjadi 12 gram sehari.
Namun, di mata hakim See Kee Oon, klaim Saridewi mengandung ketidakkonsistenan.
Meski di pengadilan mengaku sebagai pecandu heroin, kepada penyelidik sebelumnya, Saridewi mengeklaim telah berhenti merokok heroin sejak bebas dari penjara pada 2014.
Selain itu, tes urine yang dilakukan setelah penangkapan pada Juni 2016 pun tidak menunjukkan tanda-tanda penggunaan heroin.
Di sisi lain, psikiater Institute of Mental Health Singapura menemukan bahwa Saridewi tidak menderita penyakit mental atau cacat intelektual apa pun selain riwayat penyalahgunaan narkoba.
Hal tersebut bertentangan dengan klaim Saridewi bahwa dirinya menderita gangguan depresi yang terus-menerus.
Lantaran menyelundupkan lebih dari 15 gram heroin, sebagaimana aturan di Negeri Singa, Saridewi Djamani pun divonis dengan hukuman mati.
Jika benar-benar dilaksanakan, Saridewi Djamani akan menjadi wanita Singapura pertama yang mendapat hukuman mati dalam kurun waktu hampir 20 tahun.
Dilansir The Guardian, Selasa (25/7/2023), sebelum Saridewi, Singapura terakhir mengeksekusi mati seorang wanita pada 2004.
Dia adalah Yen May Woen, seorang penata rambut berusia 36 tahun yang digantung mati karena kasus perdagangan narkoba.
Singapura memiliki beberapa undang-undang narkoba paling keras di dunia yang menuai kritik internasional dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah disebut mempertahankan hukuman mati sebagai pencegah paling efektif terhadap kejahatan narkoba.
Namun, pakar hukuman mati di Amnesti Internasional, Chiara Sangiorgio, mengatakan, tidak ada bukti hukuman mati memiliki efek jera pada penggunaan dan ketersediaan narkoba.
"Tidak masuk akal bahwa otoritas Singapura dengan kejam terus mengejar lebih banyak eksekusi dengan dalih pengendalian narkoba," kata dia.
"Ketika negara-negara di seluruh dunia menghapus hukuman mati dan merangkul reformasi kebijakan narkoba, otoritas Singapura tidak melakukan keduanya," ungkapnya.