Penulis
Intisari-Online.com -Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) telah melakukan penyitaan terhadap gedung The East Tower yang terletak di Jalan Lingkar Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Gedung tersebut merupakan milik PT Gentamulia Infra, perusahaan yang dimiliki oleh Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono. Mereka adalah obligor Bank Asia Pacific yang gagal membayar utangnya kepada negara.
Setiawan Harjono juga dikenal sebagai besan dari Setya Novanto, mantan Ketua DPR yang tersandung kasus korupsi e-KTP.
Penyitaan ini merupakan bagian dari upaya pemulihan aset negara yang berasal dari skandal BLBI, salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Menurut Rionald Silaban, Ketua Satgas BLBI, gedung The East Tower memiliki luas total 26.715,59 meter persegi (m2) dan nilai estimasi sebesar Rp 786 miliar.
Dari 254 unit gedung tersebut, 177 unit disita oleh Satgas BLBI karena masih dimiliki oleh PT Gentamulia Infra. Sedangkan 77 unit lainnya tidak disita karena sudah dijual kepada pihak ketiga.
“Penyitaan tidak dilakukan terhadap bangunan satuan rumah susun yang sudah dimiliki oleh Pihak Ketiga selain PT Gentamulia Infra,” ujar Rionald Silaban dalam keterangan resminya.
Sejarah BLBI
BLBI adalah program penyelamatan bank-bank yang mengalami krisis likuiditas akibat krisis moneter pada tahun 1997-1998.
Pemerintah memberikan dana talangan sebesar Rp144,5 triliun kepada 48 bank swasta yang dianggap layak untuk diselamatkan.
Namun, dana tersebut tidak digunakan untuk menyelesaikan masalah perbankan, melainkan dikorupsi oleh para pemilik bank atau konglomerat.
Semuanya bermula pada tahun 1998, ketika Indonesia menghadapi krisis keuangan yang sangat parah.
Nilai tukar rupiah anjlok di bawah dolar AS, dan perekonomian rakyat terpuruk. Situasi ini juga menggoyahkan stabilitas politik rezim Soeharto.
Untuk menyelamatkan bank-bank yang kekurangan likuiditas, pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) yang saat itu masih di bawah kendali pemerintah, memberikan pinjaman bernama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pinjaman ini diberikan kepada 48 bank swasta yang dianggap layak untuk diselamatkan.
Namun, ternyata pinjaman ini bukanlah uang gratis. Pemerintah harus mengeluarkan Surat Utang Negara (SUN) untuk membiayai BLBI.
SUN ini harus dibayar oleh pemerintah dengan bunga setiap tahunnya.
Sampai saat ini, SUN masih dipegang oleh BI, dan utang BLBI baru akan lunas pada tahun 2033.
Yang lebih parah lagi, sebagian besar dana BLBI yang mencapai Rp144,5 triliun tidak digunakan untuk menyelesaikan masalah perbankan, melainkan diselewengkan oleh para pemilik bank atau konglomerat.
Mereka adalah orang-orang kaya dan berpengaruh yang memiliki hubungan dekat dengan Soeharto.
Beberapa contoh bank dan pemiliknya yang terlibat dalam skandal BLBI adalah Bank Central Asia (BCA) milik Sudono Salim, Bank Umum Nasional milik Mohamad Bob Hasan, Bank Surya milik Sudwikatmono, Bank Yasin Makmur milik Siti Hardiyanti Rukmana, Bank Papan Sejahtera milik Hasjim Djojohadikusumo, Bank Nusa Nasional milik Nirwan Bakrie, dan Bank Risjad Salim Internasional milik Ibrahim Risjad.
Digasak Konglomerat, Ditanggung Rakyat
Akibat skandal BLBI ini, pemerintah harus membayar sekitar Rp80 triliun per tahun untuk cicilan pokok dan bunga SUN.
Beban ini tentunya berdampak langsung kepada rakyat, karena harus ikut menanggungnya melalui APBN.
Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk keperluan lain seperti subsidi listrik atau BBM, harus dialihkan untuk membayar utang BLBI.
Untuk mengurangi beban APBN, pemerintah melakukan beberapa langkah.
Pertama, melakukan reprofiling atau menerbitkan obligasi baru dengan tenor yang lebih panjang.
Kedua, menjual aset-aset yang disita dari para obligor BLBI.
Ketiga, membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) untuk mengejar para obligor BLBI yang belum membayar utangnya.