Penulis
Prasasti Batutulis menjadi salah satu peninggalan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan ini hancur setelah mendapat serangan dari Kesultanan Banten.
Intisari-Online.com -Barangkali ini adalah salah satu kerajaan di Nusantara dengan riwayat paling panjang.
Kerajaan ini sudah ada sejak abad 10, dan runtuh pada penghujung abad 16.
Inilah Kerajaan Pajajaran yang digdaya itu.
Riwayat Kerajaan Pajajaran berakhir seiring dengan munculnya Kerajaan Banten yang bercorak Islam di ujung barat Pulau Jawa.
Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan bercorak Hindu yang pernah ada di Jawa Barat.
Pusat kerajaan ini ada di Pakuan, Bogor sekarang.
Kerajaan ini juga sering disebut sebagai Negeri Sunda, Pasundan, atau Pakuan Pajajaran.
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak, Kerajaan Pajajaran didirikan oleh Sri Jayabhupati.
Kerajaan Pajajaran berdiri pada tahun 923 M dan runtuh pada 1597 M setelah diserang oleh Kesultanan Banten.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (1482-1521 M), kerajaan ini berhasil mencapai puncak keemasannya.
Jejak Kerajaan Pajajaran dapat diketahui dari berbagai sumber sejarah, seperti naskah kuno (Babad Padjajaran, Carita Parahyangan, dan Carita Waruga Guru) dan prasasti (Prasasti Batu Tulis, Prasasti Sanghyang Tapak, dan Prasasti Kawali).
Kerajaan Pajajaran tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan pendahulunya, seperti Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda dan Galuh, serta Kawali.
Hal ini disebabkan pemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak, Raja Sri Jayabhupati mendirikan sebuah kerajaan pada 923 M di Pakuan Pajajaran.
Setelah Sri Jayabhupati, takhta kemudian jatuh ke tangan Rahyang Niskala Wastu Kancana dengan pusat kerajaan berada di Kawali.
Pada 1428, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi dinobatkan dua kali untuk menerima takhta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Periode terakhir Kerajaan Sunda dan Galuh ini kemudian dikenal sebagai periode Kerajaan Pajajaran dengan pusat pemerintahan kembali ke Pakuan Pajajaran.
Mengenai raja-raja Kerajaan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahyangan, dan Carita Waruga Guru.
Selain Sri Jayabhupati sebagai pendiri, berikut ini beberapa raja yang tercatat pernah memimpin Kerajaan Pajajaran.
- Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521 M), bertahta di Pakuan
- Surawisesa (1521 – 1535 M), bertahta di Pakuan
- Ratu Dewata (1535 – 1543 M), bertahta di Pakuan
- Ratu Sakti (1543 – 1551 M), bertahta di Pakuan
- Ratu Nilakendra (1551-1567 M), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan Maulana Yusuf
- Raga Mulya (1567 – 1579 M), memerintah dari Pandeglang
Masa kejayaan Kerajaan Pajajaran dapat dicapai pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi yang memerintah antara 1482-1521 M.
Pada masa pemerintahannya, kerajaan dalam keadaan teratur dan tenteram.
Tindakan pertama yang diambil setelah resmi menjadi raja adalah membebaskan penduduknya dari empat macam pajak.
Ketika memerintah, Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang memegang teguh asas kesetaraan dalam kehidupan sosial.
Prabu Siliwangi sempat tidak senang dengan hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, tetapi perselisihan mereka tidak berkembang ke arah ketegangan.
Menurut sumber Portugis, Kerajaan Pajajaran diperkirakan memiliki 100.000 prajurit dan 40 ekor pasukan gajah.
Prabu Siliwangi begitu mencurahkan perhatian pada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan, dan menyusun formasi tempur di darat, tetapi angkatan lautnya terbilang lemah.
Kerajaan Pajajaran runtuh pada 1579 akibat serangan dari kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
Berakhirnya Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgasana raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu diboyong karena tradisi politik agar di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Hal ini juga menandai bahwa Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah putri Sri Baduga Maharaja.
Setelah Pajajaran runtuh, diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan keraton lalu menetap di daerah Lebak.
Mereka menetapkan tata cara kehidupan lama yang ketat dan sekarang dikenal sebagai orang Baduy.