Agresi Militer Belanda I, Peristiwa Belanda Lakukan Serangan Brutal ke Yogyakarta pada 21 Juli 1947

Afif Khoirul M

Penulis

Belanda melancarkan Agresi Militer ke Indonesia pertama pada 21 Juli 1947.

Intisari-online.com - Indonesia menghadapi serangan militer kedua dari Belanda yang bertujuan untuk menghentikan perjuangan kemerdekaan dan mengembalikan kekuasaan kolonial di tanah air.

Serangan ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak.

Serangan ini merupakan kelanjutan dari Agresi Militer Belanda I yang terjadi pada 21 Juli 1947, yang melanggar Perjanjian Linggarjati yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada 15 November 1946.

Perjanjian ini mengakui kedaulatan Republik Indonesia atas Jawa, Sumatera, dan Madura, serta membentuk Negara Indonesia Serikat yang berhubungan dengan Kerajaan Belanda dalam bentuk Uni Indonesia-Belanda.

Namun, Belanda tidak puas dengan hasil perjanjian ini dan berusaha untuk memperluas wilayahnya di Indonesia dengan menggunakan kekerasan militer.

Serangan pertama mereka berhasil merebut sebagian besar wilayah Jawa dan Sumatera, serta membentuk negara-negara boneka seperti Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dan Negara Sumatera Timur.

Indonesia tidak tinggal diam dan melakukan perlawanan sengit di berbagai daerah.

Perjuangan rakyat Indonesia mendapat simpati dari dunia internasional, terutama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membentuk Komite Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Australia, Belgia, dan Amerika Serikat untuk menengahi konflik antara Indonesia dan Belanda.

Atas usulan KTN, Indonesia dan Belanda kembali melakukan perundingan di atas kapal USS Renville yang bersandar di Tanjung Priok pada Desember 1947.

Perundingan ini menghasilkan Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948.

Perjanjian ini mengatur tentang gencatan senjata, pembentukan Komisi Konsultatif Federal (KKF) untuk membahas pembentukan Negara Indonesia Serikat, dan penarikan pasukan Indonesia dari wilayah-wilayah yang diduduki oleh Belanda.

Perjanjian Renville ternyata tidak membawa damai bagi Indonesia, melainkan malah memperparah kondisi politik dan militer di tanah air.

Baca Juga: Di Balik Kritikan Utang Indonesia yang Tembus Rp7.787 triliun, Sosok Sri Mulyani Ungkap Fakta Sesungguhnya

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Perjanjian Renville sangat merugikan bagi Indonesia karena mengharuskan pasukan Indonesia mundur dari wilayah-wilayah yang telah dikuasainya sebelumnya, sehingga menyisakan wilayah Republik Indonesia yang sangat sempit dan terisolasi.

2. Perjanjian Renville juga tidak dihormati oleh Belanda yang terus melakukan provokasi dan pelanggaran gencatan senjata dengan menyerang pos-pos TNI, membunuh rakyat sipil, dan mendirikan negara-negara boneka baru seperti Negara Madura dan Negara Kalimantan Timur .

3. Perjanjian Renville juga menimbulkan perpecahan di dalam tubuh Republik Indonesia antara kelompok yang setuju dengan perjanjian ini (khususnya pemerintah pusat) dengan kelompok yang menolaknya (khususnya TNI dan gerakan rakyat).

Kelompok penolak menuduh pemerintah sebagai pengkhianat bangsa dan melakukan pemberontakan bersenjata seperti Pemberontakan Madiun pada September 1948 .

Belanda memanfaatkan situasi ini untuk mempersiapkan serangan militer kedua yang lebih besar dan lebih terencana.

Mereka berdalih bahwa Indonesia telah melanggar Perjanjian Renville dengan melakukan pemberontakan komunis di Madiun dan menolak usulan-usulan KKF untuk membentuk Negara Indonesia Serikat.

Kronologi

Serangan militer Belanda kedua dimulai pada 19 Desember 1948 pukul 05.30 WIB dengan mengebom bandara Maguwo dan Wonocatur di Yogyakarta, yang merupakan pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Serangan udara ini diikuti oleh serangan darat yang dilakukan oleh pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri Belanda yang didukung oleh tank dan kendaraan lapis baja.

TNI melakukan perlawanan dengan menggunakan strategi pertahanan linier, yaitu menempatkan pasukan di garis terdepan untuk menghadang serbuan musuh.

Baca Juga: Sebelum Budiman Sudjatmiko, Sosok Ini Sudah Lebih Dulu Berani Temui Prabowo, Nasibnya Sama

Namun, karena kalah jumlah dan persenjataan, TNI tidak mampu bertahan lama dan harus mundur ke daerah pedalaman.

Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta pada pukul 14.00 WIB dan menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya.

Selain Yogyakarta, Belanda juga menyerang daerah-daerah lain di Jawa dan Sumatera, seperti Surakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, dan Padang.

Dalam waktu singkat, hampir seluruh wilayah Indonesia jatuh ke tangan Belanda .

Dampak

Serangan militer Belanda kedua ini menimbulkan dampak yang sangat besar bagi Indonesia, baik dari segi politik, militer, maupun sosial. Beberapa dampaknya adalah:

1.Pemerintahan Republik Indonesia mengalami kekosongan karena para pemimpinnya ditawan oleh Belanda.

Untuk mengisi kekosongan ini, dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Sumatera Barat pada 22 Desember 1948 dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai presidennya.

2.TNI mengalami kekalahan yang telak dan harus beralih ke strategi gerilya, yaitu melakukan perang gerakan dengan mengandalkan mobilitas dan kecepatan pasukan serta dukungan rakyat.

Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya ini meskipun dalam kondisi sakit.

3.Rakyat Indonesia mengalami penderitaan yang luar biasa akibat serangan militer Belanda. Banyak korban jiwa yang berjatuhan, baik dari kalangan militer maupun sipil. Banyak pula harta benda yang hancur dan infrastruktur yang rusak. Rakyat juga mengalami kelaparan, penyakit, dan pengungsian.

Akhir

Baca Juga: Sosok Presiden Soeharto di Balik Kirab Pusaka Malam 1 Suro, Tradisi Baru Keraton Mataram Surakarta

Serangan militer Belanda kedua ini mendapat kecaman keras dari dunia internasional, terutama dari PBB yang mengutuk tindakan agresif Belanda dan mendesak agar mereka menghentikan serangan dan membebaskan para pemimpin Indonesia.

PBB juga membentuk Komisi Konsuler PBB (KKP) untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.

Belanda akhirnya mau berunding dengan Indonesia di bawah tekanan PBB dan dunia internasional.

Perundingan ini berlangsung di Pulau Roem (Pulau Rhodos) di Yunani pada Mei-Juli 1949.

Perundingan ini menghasilkan Perjanjian Roem-Royen yang ditandatangani pada 7 Mei 1949.

Perjanjian ini mengatur tentang pengembalian kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada akhir tahun 1949.

Artikel Terkait