Masyarakat Kerajaan Mataram Kuno Telah Memiliki Sikap Toleransi Tinggi, Ini Buktinya

Ade S

Penulis

Masyarakat Kerajaan Mataram Kuno telah memiliki sikap toleransi tinggi antara umat Hindu dan Buddha. Artikel ini akan memberikan buktinya.

Intisari-Online.com -Kerajaan Mataram Kuno adalah salah satu kerajaan besar yang pernah berjaya di Pulau Jawa.

Kerajaan ini menganut agama Hindu dan Buddha, dan berpusat di wilayah Jawa Tengah bagian selatan sejak abad ke-8.

Masyarakat Kerajaan Mataram Kuno telah memiliki sikap toleransi tinggi antara umat Hindu dan Buddha.

Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa aspekyang menunjukkan sikap saling menghormati dan mendukung antara umat Hindu dan Buddha di kerajaan ini.

Artikel ini akan memberikan bukti toleransi dalam masyarakat Mataram Kuno berdasarkan peninggalan sejarah dan perkawinan beda agama.

1) Pembangunan candi Hindu-Buddha

Masyarakat Kerajaan Mataram kuno terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha. Namun, mereka tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Hal itu dibuktikan dalam pembangunan Candi Plaosan di Kabupaten Klaten, yang merupakan wujud akulturasi budaya Hindu dan Buddha.

Candi Plaosan dibangun oleh Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, pasangan raja dan permaisuri yang berasal dari agama yang berbeda. Rakai Pikatan adalah raja Hindu dari Dinasti Sanjaya, sedangkan Pramodawardhani adalah putri Buddha dari Dinasti Syailendra.

Meskipun berbeda agama, mereka saling menghargai dan mendukung pembangunan candi-candi yang mewakili kepercayaan masing-masing. Pada 842, mereka meresmikan Candi Borobudur (Buddha) yang dibangun sejak era pemerintahan Samaratungga.

Selain itu, Rakai Pikatan juga membangun Candi Prambanan (Hindu) sebagai candi Siwa, dan menambahkan dua candi perwara berupa stupa (Buddha) di Candi Plaosan Lor untuk menghormati permaisurinya.

Baca Juga: 2 Bukti Toleransi dalam Masyarakat Mataram Kuno, Paduan Hindu-Buddha

Dengan demikian, pernikahan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani tidak hanya menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno yang sempat terpecah menjadi dua, tetapi juga menjadi contoh toleransi antarumat beragama Hindu dan Buddha di Mataram Kuno.

Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berupa candi Hindu dan Buddha pun banyak yang didirikan secara berdampingan.

Beberapa contohnya adalah Candi Sewu (Buddha) dan Candi Lumbung (Hindu) di kompleks Prambanan, Candi Sari (Buddha) dan Candi Kalasan (Hindu) di sekitar Borobudur, dan Candi Sambisari (Hindu) dan Candi Gebang (Buddha) di Yogyakarta.

2) Perkawinan beda agama

Dinasti-dinasti yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno mempunyai perbedaan yang sangat mencolok, di mana Dinasti Sanjaya bercorak Hindu, sedangkan Dinasti Syailendra bercorak Buddha.

Kekuasaan Mataram Kuno pertama kali dipegang oleh Raja Sanjaya, dibuktikan dengan Prasasti Canggal. Raja Sanjaya dikenal sebagai raja yang bijaksana, cakap, adil, dan taat dalam beragama.

Di bawah pemerintahannya, kerajaan ini mejadi pusat pembelajaran agama Hindu, dibuktikan dengan banyaknya pendeta yang berkunjung dan menetap di Mataram.

Pada pertengahan abad ke-8, Raja Sanjaya wafat dan digantikan oleh putranya, Rakai Panangkaran. Setelah Rakai Panangkaran wafat, Kerajaan Mataram Kuno terpecah menjadi dua.

Dinasti Sanjaya memerintah Kerajaan Mataram Kuno bercorak Hindu di Jawa Tengah bagian utara. Sementara Dinasti Syailendra memerintah Kerajaan Mataram Kuno bercorak Buddha di Jawa Tengah bagian selatan.

Kerajaan Mataram Kuno akhirnya bersatu kembali setelah perkawinan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya (Hindu) dan Pramodhawardani dari Wangsa Syailendra (Buddha).

Perbedaan agama di antara Rakai Pikatan dan Pramodawardhani pun terbukti tidak menimbulkan masalah. Selama memerintah, keduanya sama-sama menjunjung toleransi beragama.

Baca Juga: 17 Peninggalan Kerajaan Mataram Paling Lengkap, Ada Candi dan Prasasti

Perkawinan beda agama antara raja dan permaisuri dari dinasti yang berbeda juga terjadi di Jawa Timur, setelah Kerajaan Mataram Kuno pindah ke sana pada abad ke-10. Raja Airlangga dari Dinasti Isyana (Hindu) menikahi Dharmawangsa dari Dinasti Wurawari (Buddha).

Mereka juga saling menghormati dan mendukung agama masing-masing. Raja Airlangga membangun Candi Belahan (Hindu) sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, sedangkan Dharmawangsa membangun Candi Jawi (Buddha) sebagai tempat pemujaannya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kerajaan Mataram Kuno telah memiliki sikap toleransi tinggi antara umat Hindu dan Buddha. Hal ini membuktikan bahwa toleransi beragama bukanlah hal baru dalam masyarakat Indonesia, melainkan sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.

Baca Juga: Faktor yang Mendorong Mataram Menjadi Negara Agraris adalah Kondisi Ini

Artikel Terkait