Perjanjian Mataram-VOC 1705, Ketika Kerajaan Mataram Menyerah kepada VOC Akibat Utang Amangkurat II

Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Perjanjian Mataram.

Intisari-online.com - Kerajaan Mataram adalah kerajaan yang berkuasa di Nusantara dari abad ke-16 hingga abad ke-18.

Kerajaan ini mencapai masa keemasannya pada zaman Sultan Agung (1613-1645) yang berhasil menaklukkan hampir seluruh Pulau Jawa dan sebagian Sumatera.

Namun, setelah Sultan Agung meninggal, kerajaan ini mulai terpecah belah akibat perselisihan internal dan intervensi VOC.

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Mataram adalah Perjanjian Mataram-VOC tahun 1705.

Perjanjian ini adalah hasil dari kerjasama antara raja Pakubuwana I dari Mataram dan VOC, yang bertujuan untuk mengakhiri pemberontakan Trunajaya yang terjadi tahun 1675.

Trunajaya adalah seorang penguasa Madura yang menolak kekuasaan Mataram dan berhasil merebut ibu kota kerajaan, Plered, pada tahun 1677.

Untuk mengatasi Trunajaya, Pakubuwana I meminta bantuan VOC, yang saat itu sudah memiliki kepentingan ekonomi dan politik di Nusantara.

VOC bersedia membantu Pakubuwana I dengan syarat Mataram harus membayar hutang-hutangnya kepada VOC dan memberikan sejumlah konsesi kepada VOC.

Pakubuwana I menyetujui syarat-syarat tersebut dan akhirnya berhasil mengalahkan Trunajaya pada tahun 1679.

Namun, perjanjian antara Mataram dan VOC baru ditandatangani pada tahun 1705, setelah Pakubuwana I kembali naik tahta setelah sempat digulingkan oleh saudaranya, Amangkurat III.

Dalam perjanjian ini, Mataram setuju untuk:

Baca Juga: Mengunjungi Pesanggrahan-pesanggrahan Yang Dibangun Hamengkubuwono I, Penguasa Pertama Keraton Mataram Yogyakarta

1. Mengulangi pengakuannya atas batas wilayah Batavia yang mencakup wilayah Parahyangan;

2. Mengakui Cirebon sebagai protektorat VOC;

3. Melepaskan pengaruh Madura bagian timur, termasuk Sumenep dan Pamekasan;

4. Membenarkan kekuasaan VOC atas Semarang;

5. Hak VOC untuk membeli beras sebanyak maunya;

6. Pembenaran monopoli VOC atas impor candu dan wastra;

7. Pengiriman beras dari Mataram kepada VOC sebanyak 800 koyan (sekitar 1 300 ton) setiap tahun dengan cuma-cuma selama 25 tahun;

8. Penempatan kembali suatu garnisun VOC di Kartasura yang dibiayai Susuhunan;

9. Larangan untuk orang Jawa berlayar ke sebelah timur Lombok, ke sebelah utara Kalimantan dan ke sebelah barat Lampung.

Perjanjian ini sangat merugikan bagi Mataram karena menyerahkan sebagian besar kedaulatan dan sumber dayanya kepada VOC.

Perjanjian ini juga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat dan bangsawan Mataram, yang kemudian memicu berbagai pemberontakan terhadap Pakubuwana I dan penerusnya.

Baca Juga: Amangkurat III Raja Mataram yang Wafat di Sri Lanka Akibat Intrik Belanda

Salah satu pemberontakan terbesar adalah yang dipimpin oleh Raden Mas Said (1746), keponakan Pakubuwona II, dan Mangkubumi.

Pemberontakan ini berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755), yang membagi Mataram menjadi dua kekuasaan, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Raden Mas Said kemudian mendapatkan sebagian wilayah Mataram melalui Perjanjian Salatiga (1757) dan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.

Dengan demikian, perjanjian antara Mataram dan VOC tahun 1705 menjadi awal dari pecahnya Kerajaan Mataram menjadi beberapa kesultanan dan kadipaten yang lebih kecil.

Artikel Terkait