Find Us On Social Media :

Peran Nicolas Hartigh dalam Hubungan Diplomatik antara VOC dan Mataram pada Masa Pemerintahan Pakubuwana II

By Afif Khoirul M, Sabtu, 8 Juli 2023 | 09:20 WIB

Intisari-online.com - Nicolas Hartigh adalah seorang utusan VOC yang dikirim ke Mataram pada tahun 1743 untuk menegosiasikan perdamaian dengan Susuhunan Pakubuwana II.

Perdamaian ini diperlukan karena VOC dan Mataram sedang berkonflik akibat pemberontakan orang Tionghoa di Pesisir yang meluas hingga ke pedalaman Jawa.

Pemberontakan ini dipimpin oleh Raden Mas Garendi, yang juga dikenal sebagai Sunan Kuning, seorang cucu dari Amangkurat III.

Nicolas Hartigh berhasil membujuk Pakubuwana II untuk menerima bantuan VOC dalam menumpas pemberontakan Sunan Kuning.

Sebagai imbalannya, Pakubuwana II harus melepaskan sebagian besar wilayah Pesisir, termasuk Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara, dan Blambangan, kepada VOC.

Selain itu, Pakubuwana II juga harus memberikan sejumlah hak dan kewajiban kepada VOC, seperti mengirim beras secara gratis setiap tahun, meminta izin untuk mengangkat patih, menerima garnisun VOC di Kartasura, dan melarang orang Jawa berlayar di luar Jawa, Madura, dan Bali.

Perjanjian ini ditandatangani pada bulan November 1743 di Kartasura dan dikenal sebagai Perjanjian Mataram dan VOC tahun 1743.

Perjanjian ini sangat merugikan bagi Mataram karena mengurangi kedaulatan dan kewibawaan Pakubuwana II sebagai raja.

Perjanjian ini juga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan para bangsawan dan rakyat Mataram, yang merasa dijajah oleh VOC.

Peran Nicolas Hartigh dalam hubungan diplomatik antara VOC dan Mataram pada masa pemerintahan Pakubuwana II sangat penting karena ia menjadi mediator, negosiator, dan penasehat bagi kedua belah pihak.

Ia juga menjadi saksi sejarah tentang kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya Mataram pada abad ke-18.

Baca Juga: Kisah Pangeran Mangkubumi dan Perjanjian Giyanti, Dari Peperangan hingga Pembagian Wilayah Mataram

Perjanjian Mataram dan VOC tahun 1743 tidak hanya mengakhiri pemberontakan Sunan Kuning, tetapi juga memicu perang saudara baru di Mataram.

Beberapa pihak tidak puas dengan perjanjian yang dianggap merendahkan martabat dan kedaulatan Mataram.

Salah satunya adalah Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwana II, yang merasa tidak dihargai oleh kakaknya.

Ia juga tidak setuju dengan kebijakan Pakubuwana II yang menyerahkan sebagian besar wilayah dan hak Mataram kepada VOC.

Pada tahun 1749, Pakubuwana II jatuh sakit dan menyerahkan kedaulatan Mataram kepada Baron von Hohendorff, gubernur VOC untuk Jawa bagian timur.

Hal ini membuat Pangeran Mangkubumi semakin marah dan memutuskan untuk memberontak.

Ia bergabung dengan Pangeran Sambernyawa, seorang cucu Amangkurat III yang juga menuntut takhta Mataram.

Mereka bersama-sama menyerang Kartasura, ibu kota Mataram, dan mengusir Pakubuwana II beserta VOC.

Pakubuwana II melarikan diri ke Ponorogo dan kemudian ke Surakarta, sebuah desa di tepi Sungai Bengawan Solo.

Di sana ia mendirikan keraton baru dengan bantuan VOC.

Ia juga mengangkat putranya, Raden Mas Suryaputra, sebagai raja muda dengan gelar Pakubuwana III.

Baca Juga: Nyai Roro Kidul, Benarkah Cuma Sosok Rekaan Panembahan Senopati Dalam Babad Tanah Jawi?

Sementara itu, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa menduduki Kartasura dan mengangkat Raden Mas Garendi sebagai raja baru dengan gelar Amangkurat V.

Perang saudara antara Pakubuwana II (dan kemudian Pakubuwana III) melawan Amangkurat V berlangsung selama enam tahun (1749-1755).

Perang ini melibatkan VOC sebagai sekutu Pakubuwana III dan Cakraningrat IV sebagai sekutu Amangkurat V.

Perang ini juga menyebabkan banyak korban jiwa dan kerusakan di Jawa.

Perang saudara berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Janti, Karanganyar.

Perjanjian ini dibuat atas prakarsa Nicolaas Hartingh, gubernur VOC untuk Jawa Utara, yang berhasil membujuk Pangeran Mangkubumi untuk berdamai dengan Pakubuwana III.

Dalam perjanjian ini, Mataram dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III dan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Hamengkubuwana I.

Perjanjian Giyanti tidak melibatkan Pangeran Sambernyawa, yang masih melanjutkan perlawanan terhadap VOC dan Surakarta.

Ia baru mau berdamai setelah ditandatanganinya Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757.

Dalam perjanjian ini, ia mendapatkan sebagian wilayah timur Mataram dan mendirikan kerajaan sendiri dengan gelar Mangkunegara I.

Dengan demikian, Mataram terpecah menjadi tiga kerajaan, yaitu Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran.

Baca Juga: Kakek Raja Pertama Mataram Ternyata Tokoh Penyebar Islam Di Solo, Berutang Jasa Kepada Tokoh Hindu Setempat

Ketiga kerajaan ini tetap berada di bawah pengawasan VOC dan harus membayar upeti setiap tahunnya.

Perpecahan Mataram ini merupakan akibat dari politik adu domba VOC yang berhasil melemahkan kekuatan Mataram sebagai kerajaan terbesar di Jawa.

Namun, laporan-laporan Nicolas Hartigh menjadi salah satu sumber primer yang dapat digunakan untuk mempelajari sejarah Mataram pada masa itu.

Nicolas Hartigh meninggal pada tahun 1750 di Batavia. Ia dimakamkan di Kerkhof Laan (sekarang Jalan Pangeran Jayakarta) di Jakarta.