Apakah yang Dimaksud dengan Perkawinan Politik pada Masa Sultan Agung dari Mataram?

Ade S

Penulis

Salah satu adegan dalam film 'Sultan Agung'. Apakah yang dimaksud dengan perkawinan politik pada masa Sultan Agung?

Intisari-Online.com -Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah raja Mataram yang terkenal dengan keberhasilannya menguasai hampir seluruh Pulau Jawa.

Salah satu kebijakan politiknya yang menarik adalah menikahkan adiknya dengan Pangeran Pekik, putra Adipati Surabaya.

Apakah yang dimaksud dengan perkawinan politik pada masa Sultan Agung? Bagaimana latar belakang dan dampaknya bagi sejarah Mataram dan Surabaya?

Artikel ini akan menjelaskan perkawinan politik antara Sultan Agung dan Pekik untuk kuasai Surabaya.

Surabaya yang Sulit Ditaklukan

Raja terbesar Mataram Islam, Sultan Agung Hanyakrakusuma berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat melalui operasi militer yang hebat.

Hanya Banten dan Batavia yang belum jatuh ke tangan Mataram.

Namun, ada satu kerajaan di timur yang memberikan perlawanan sengit, yaitu Surabaya. Mataram harus mengulang penyerangan hingga tiga kali untuk mengalahkan Surabaya.

Bahkan, ayah Sultan Agung, Panembahan Hanyakrawati, juga pernah gagal menundukan Surabaya.

Surabaya akhirnya tunduk pada Mataram pada tahun 1625. Sultan Agung memberikan perlakuan khusus kepada Surabaya.

Baca Juga: Bersatunya Kembali Mataram Kuno Ketika Terjadi Perkawinan Politik Antara Pramodhawardani dari Dinasti Syailendra dengan Sosok Ini

Dia tidak mencabut kekuasaan Pangeran Pekik, putra Adipati Surabaya, di wilayahnya. Malah, dia mengundang Pekik ke istana Mataram di Kerta pada tahun 1628.

Pekik ditemani oleh Tumenggung Sepanjang, bupati Mataram di Surabaya, dalam perjalanan ke Mataram.

Sementara itu, Tumenggung Alap-Alap ditugaskan sebagai pelaksana tugas bupati Surabaya selama Pekik berada di Mataram.

Dalam perjalanan, Pekik berhenti di Butuh, Surakarta. Dia bermalam di makam Sultan Hadiwijaya, pendiri Kerajaan Pajang.

Di sana, dia mendapat wangsit bahwa salah satu cucunya akan menjadi raja Mataram dengan gelar Hamangkurat atau Amangkurat.

Cucu itu akan membangun keraton di hutan Wanakerta, dekat Pajang. Cucu itu adalah Hamangkurat II atau Amangkurat Amral.

Pernikahan Politik pada masa Sultan Agung

Pekik disambut dengan baik oleh Sultan Agung ketika tiba di Kerta. Dia diminta tinggal di Mataram dan diberi kediaman yang disebut Ndalem Kasurabayan.

Sultan Agung kemudian menikahkan adiknya, Ratu Pandansari, dengan Pekik. Ini adalah bentuk perkawinan politik untuk mengokohkan hubungan antara Mataram dan Surabaya.

Sultan Agung menghormati Pekik karena dia masih keturunan Sunan Ampel atau Raden Rahmat.

Perkawinan politik ini mirip dengan yang dilakukan oleh kakek Sultan Agung, Panembahan Senopati, ketika menaklukkan Madiun.

Baca Juga: Perkawinan Politik di Mataram Islam: Strategi Kekuasaan dengan Mengambil Selir dari Putri Bangsawan Bawahan

Senopati menikahi putri Madiun Retno Dumilah untuk menguasai wilayahnya.

Sultan Agung dan Pekik kemudian menjadi besan. Putra tertua Sultan Agung Raden Mas (RM) Sayidin menikahi putri Pekik dari istri sebelumnya.

Sayidin naik tahta sebagai Susuhunan Hamangkurat Agung atau Amangkurat I.

Dari perkawinan ini lahir Amangkurat II, cucu dari Sultan Agung dan Pekik.

Melalui artikel di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan politik antara Sultan Agung dan Pekik adalah salah satu contoh strategi diplomasi yang dilakukan oleh raja Mataram untuk mengamankan wilayahnya.

Perkawinan ini juga membawa pengaruh bagi garis keturunan raja-raja Mataram selanjutnya.

Dengan mengetahui apakah yang dimaksud dengan perkawinan politik pada masa Sultan Agung, kita dapat memahami lebih dalam tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Baca Juga: Penjelasan Kebijakan-kebijakan yang Dilakukan Sultan Agung yang Menyebabkan Mataram Mencapai Puncak Kejayaan

Artikel Terkait