Labuhan Merapi, Upacara Adat Terhubung Dengan Penunggu Merapi Sejak Era Kerajaan Mataram Islam

Afif Khoirul M

Penulis

Tradisi labuhan Merapi kerajaan Mataram Yogyakarta.

Intisari-online.com - Di antara gunung-gunung berapi aktif di Indonesia, Gunung Merapi yang berada di perbatasan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah memiliki peranan penting dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Jawa.

Khususnya yang berada di bawah pengaruh Keraton Yogyakarta.

Salah satu cara masyarakat Jawa untuk menghormati dan menghargai Gunung Merapi adalah dengan menggelar upacara adat yang disebut Labuhan Merapi.

Labuhan Merapi adalah upacara adat yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-13 hingga sekarang di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya melempar atau menyerahkan.

Labuhan Merapi artinya melempar atau menyerahkan sesaji kepada Gunung Merapi sebagai tanda terima kasih, permintaan keselamatan, dan harapan kesejahteraan kepada sang pencipta, alam, dan para penunggu sekaligus penjaga Gunung Merapi.

Labuhan Merapi biasanya dilakukan setiap tahun pada bulan Rabiul Awal dalam kalender Hijriyah, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Namun, ada juga Labuhan Merapi yang dilakukan setiap delapan tahun sekali pada bulan Sapar dalam kalender Jawa.

Labuhan Merapi merupakan bagian dari rangkaian upacara adat Tingalan Dalem Jumenengan atau bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai raja Yogyakarta.

Bagaimana prosesi Labuhan Merapi?

Prosesi Labuhan Merapi dimulai dengan pengantaran ubarampe atau sesaji dari Keraton Yogyakarta ke petilasan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi yang gugur dalam erupsi tahun 2010.

Baca Juga: Menengok Kekayaan Hamengkubuwono VII, Raja Mataram Yogyakarta Yang Dijuluki Sebagai Sultan Sugih

Ubarampe yang diantar berupa pakaian-pakaian keraton, kain-kain batik, bunga-bunga, buah-buahan, makanan-makanan tradisional, dan lain-lain.

Ubarampe ini kemudian diserahkan kepada juru kunci Gunung Merapi yang saat ini dijabat oleh Wedana Suraksa Harga atau Pak Asih, anak kandung Mbah Maridjan.

Pada hari berikutnya, ubarampe dibawa menuju kawasan Sri Manganti yang terletak di Pos 1 Pendakian Gunung Merapi dengan ketinggian 1532 Mdpl.

Di sini, ubarampe diserahkan kepada para abdi dalem keraton yang bertugas sebagai pelaksana upacara Labuhan Merapi.

Abdi dalem kemudian membawa ubarampe menuju lokasi labuhan yang berada di lereng Gunung Merapi dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua jam.

Di lokasi labuhan, abdi dalem melakukan doa bersama dan memanjatkan harapan agar Gunung Merapi tetap tenang dan tidak meletus.

Setelah itu, ubarampe dilemparkan ke arah puncak Gunung Merapi sebagai simbol penyerahan kepada para penunggu dan penjaga Gunung Merapi.

Prosesi Labuhan Merapi kemudian ditutup dengan acara syukuran bersama masyarakat sekitar.

Apa makna Labuhan Merapi?

Labuhan Merapi merupakan salah satu tradisi kebudayaan yang menunjukkan bauran antara Islam dan Jawa dalam masyarakat Yogyakarta.

Tradisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta menghormati dan menghargai alam sebagai ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan.

Baca Juga: 17 Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, dari Candi Hingga Prasasti

Tradisi ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta percaya adanya kekuatan-kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia, seperti Ratu Laut Selatan, Eyang Empu Romo, Eyang Empu Ramadi, Eyang Panembahan Prabu Jagad, dan lain-lain.

Labuhan Merapi juga merupakan salah satu cara masyarakat Yogyakarta untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.

Dengan melakukan Labuhan Merapi, masyarakat Yogyakarta berharap mendapatkan perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan dari Tuhan melalui perantara Gunung Merapi dan para penunggu dan penjaganya.

Labuhan Merapi juga merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan masyarakat Yogyakarta kepada Keraton Yogyakarta sebagai pemegang otoritas adat dan kebudayaan di wilayahnya.

Labuhan Merapi adalah salah satu tradisi kebudayaan yang tetap lestari hingga sekarang di Yogyakarta. Tradisi ini menunjukkan kekayaan dan keunikan budaya Jawa yang bersinergi dengan nilai-nilai Islam.

Tradisi ini juga menunjukkan kearifan dan kesadaran masyarakat Yogyakarta dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Artikel Terkait