Kisah Pangeran Samber Nyowo, Pendiri Mangkunegaran yang Berasal dari Pemberontakan Mataram Islam

Afif Khoirul M

Penulis

Pangeran Sambernyawa, pendiri Mangkunegaran.

Intisari-online.com - Pangeran Samber Nyowo adalah nama yang diberikan oleh Nicolaas Hartingh, utusan VOC, kepada Raden Mas Said, seorang pangeran Mataram Islam yang gagah dan ulet melawan penindasan Belanda dan keraton Mataram sendiri.

Nama asli Pangeran Samber Nyowo adalah Raden Mas Said, yang lahir pada 7 April 1725 di Kartasura.

Ia adalah anak dari Pangeran Arya Mangkunegara, calon penerus kesultanan Mataram yang anti-VOC.

Karena sikapnya itu, ayahnya diasingkan ke Sri Lanka oleh VOC, dan Raden Mas Said dibesarkan oleh neneknya, Raden Ajeng Sumanarsa.

Perjuangan Raden Mas Said dimulai ketika ia ikut serta dalam pemberontakan Sunan Kuning melawan VOC dan Pakubuwana II pada tahun 1742.

Sebagai panglima perang, ia mendapat gelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur.

Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati.

Ia juga ikut serta dalam pemberontakan Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana I) yang menuntut haknya sebagai penerus takhta Mataram.

Pada tahun 1755, setelah Perang Jawa Ketiga berakhir dengan Perjanjian Giyanti, Raden Mas Said merasa kecewa oleh Pangeran Mangkubumi yang menerima separuh wilayah Mataram dari VOC dan Pakubuwana III.

Ia merasa haknya sebagai penguasa Mataram diabaikan dan ia tidak mau tunduk kepada salah satu dari mereka.

Ia pun melanjutkan perlawanannya dengan membentuk pasukan yang disebut Mataram Islam Surakarta (MIS).

Baca Juga: Wilayah yang Dikuasai oleh Raden Mas Said Usai Perjanjian Salatiga yang Memecah Mataram Islam Menjadi Tiga

Selama 16 tahun, ia memimpin sekitar 250 pertempuran melawan VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I.

Ia dikenal sebagai pemberontak yang tangguh, cerdik, dan berani. Ia juga mendapat dukungan dari rakyat Jawa yang menginginkan kemerdekaan dan syariah.

Ia sempat menguasai beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Madiun, Kediri, Blitar, dan Malang.

Namun, karena kekuatan VOC semakin besar dan tekanan perang semakin berat, Raden Mas Said akhirnya bersedia bernegosiasi dengan VOC dan kedua raja Mataram pada tahun 1757.

Perundingan tersebut menghasilkan Perjanjian Salatiga, yang ditandatangani di Salatiga pada 17 Maret 1757.

Dalam perjanjian itu, Raden Mas Said mendapat separuh wilayah Surakarta (4000 karya) yang mencakup daerah Wonogiri dan Karanganyar sekarang.

Ia juga mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I dan menjadi pendiri Kadipaten Mangkunegaran.

Sebagai penguasa Mangkunegaran, ia berusaha membangun kerajaannya dengan baik.

Ia memperbaiki administrasi, pertanian, perdagangan, pendidikan, seni budaya, dan militer.

Dia juga membangun istana Mangkunegaran yang megah dan indah di Surakarta. Ia dikenal sebagai penguasa yang bijaksana, adil, dan berwibawa.

Kemudian juga menghormati agama-agama lain dan menjalin hubungan baik dengan VOC dan kedua raja Mataram.

Baca Juga: Makam Giriloyo, Niatnya Untuk Sultan Agung, Ujungnya Jadi Hak Sang Paman

Mangkunegara I wafat pada 23 Desember 1795 di Surakarta, dalam usia 70 tahun. Ia dimakamkan di Astana Mangadeg, Matesih, Karanganyar.

Ia digantikan oleh putranya, Mangkunegara II.

Lalu dianggap sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berjasa dalam mempertahankan kedaulatan dan kebudayaan Jawa dari penjajahan Belanda.

Artikel Terkait