Mengungkap Akhir Hayat Amangkurat III, Raja Mataram Islam yang Wafat di Pengasingan VOC

Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Amangkurat III Raja mataram yang berakhir di tangan VOC.

Intisari-online.com - Amangkurat III adalah susuhunan Mataram yang berkuasa pada tahun 1703 – 1705.

Ia adalah anak satu-satunya dari Amangkurat II, raja sebelumnya yang berhasil menumpas pemberontakan Trunojoyo dan mengembalikan kekuasaan Mataram setelah kematian ayahnya, Amangkurat I.

Namun, masa pemerintahannya sangat singkat dan penuh dengan masalah, baik dari dalam maupun dari luar.

Ia harus bersaing dengan pamannya, Pangeran Puger, yang juga mengklaim hak atas takhta Mataram.

Kemudian juga harus berhadapan dengan VOC, perusahaan dagang Belanda yang semakin kuat dan berpengaruh di Jawa.

Akhirnya, ia terpaksa melarikan diri dari Kartasura, ibu kota Mataram saat itu, dan mengungsi ke Batavia, markas VOC.

Di sana ia meninggal dalam pelukan penjajah dan dimakamkan di Sri Lanka.

Berikut adalah beberapa fakta-fakta menarik tentang Amangkurat III yang mungkin belum banyak diketahui:

Silsilah dan Pernikahan

Amangkurat III lahir dengan nama Raden Mas Sutikna dari permaisuri Amangkurat II, yaitu Ratu Mas Ayu Kencana.

Ia juga memiliki julukan sebagai Pangeran Kencet, karena menderita sakit di bagian tumit.

Baca Juga: Mengapa Sri Lanka, Jadi Destinasi Akhir Para Raja Mataram Islam yang Terasingkan

Pada tahun 1698, ia menikah dengan putri Pangeran Puger, yaitu Raden Ayu Lembah.

Pernikahan ini dimaksudkan untuk meredam ketegangan antara Amangkurat II dan Pangeran Puger, yang merupakan adik kandungnya dan pernah menjadi putra mahkota sebelum dicopot karena tuduhan makar.

Namun, setelah Amangkurat II wafat pada tahun 1703, Raden Mas Sutikna segera mengukuhkan diri sebagai penerus takhta Mataram dengan gelar Amangkurat III.

Hal ini menimbulkan kekecewaan dan penolakan dari Pangeran Puger dan para pendukungnya.

Amangkurat III kemudian menceraikan Raden Ayu Lembah dan mengangkat permaisuri baru, yaitu seorang gadis dari desa Onje.

Konflik dengan Pangeran Puger

Pangeran Puger tidak mau mengakui keabsahan Amangkurat III sebagai raja Mataram.

Ia mengklaim bahwa ia adalah pewaris sah takhta Mataram sesuai dengan wasiat Amangkurat I.

Juga mendapat dukungan dari sebagian besar pejabat istana dan rakyat yang tidak menyukai kepribadian dan kebijakan Amangkurat III.

Amangkurat III sendiri dikenal sebagai sosok yang bengis dan sering menyiksa siapa pun yang menghalangi kekuasaannya.

Ia juga tidak memiliki kemampuan politik dan militer yang memadai untuk menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapi Mataram saat itu.

Baca Juga: Bawa Kerajaan Mataram Islam Alami Masa Keemasan, Sultan Agung Disebut Sebagai Budayawan karena Hal Ini

Konflik antara Amangkurat III dan Pangeran Puger semakin memanas ketika putra Pangeran Puger, yaitu Raden Suryokusumo, memberontak pada tahun 1704.

Amangkurat III yang ketakutan segera mengurung Pangeran Puger sekeluarga, tetapi kemudian dibebaskan kembali atas bujukan Patih Sumabrata.

Pangeran Puger kemudian melarikan diri ke Semarang, di mana ia mendapat perlindungan dan dukungan dari VOC.

Hubungan dengan VOC

VOC adalah perusahaan dagang Belanda yang memiliki monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia.

VOC juga memiliki kepentingan politik dan militer untuk menguasai Jawa dan pulau-pulau lainnya.

VOC sering kali ikut campur dalam urusan dalam negeri Mataram, baik dengan cara diplomasi maupun intervensi.

VOC juga sering kali memanfaatkan perselisihan antara para penguasa Mataram untuk menguntungkan dirinya sendiri.

Amangkurat III tidak memiliki hubungan yang baik dengan VOC. Ia merasa terancam oleh kekuatan dan pengaruh VOC di Jawa.

Ia juga tidak mau membayar hutang-hutang ayahnya kepada VOC, yang mencapai 1,2 juta gulden.

Juga menolak untuk menyerahkan beberapa wilayah penting kepada VOC, seperti Semarang, Jepara, Rembang, dan Tuban.

Baca Juga: Kisah Amangkurat II, Raja Mataram yang Suka Memakai Seragam Laksamana Belanda dan Hanya Punya Satu Putra

Hal ini membuat VOC marah dan memihak kepada Pangeran Puger, yang bersedia untuk bekerja sama dengan VOC dan menandatangani perjanjian yang menguntungkan VOC.

Pelarian dan Kematian

Pada tahun 1705, VOC bersama dengan Pangeran Puger dan pasukannya menyerbu Kartasura, ibu kota Mataram saat itu.

Amangkurat III tidak mampu mempertahankan istananya dan terpaksa melarikan diri bersama dengan keluarga dan pengikutnya.

Ia berusaha mencari perlindungan dari para penguasa daerah lainnya, seperti Cirebon, Banten, dan Mataram Barat (Sumedang), tetapi ditolak karena takut dengan ancaman VOC.

Akhirnya, ia tidak punya pilihan lain selain mengungsi ke Batavia, markas besar VOC di Jawa. Di sana ia disambut dengan baik oleh Gubernur Jenderal VOC saat itu, yaitu Joan van Hoorn.

Ia diberi tempat tinggal yang layak dan mendapat tunjangan bulanan sebesar 600 gulden.

Namun, ia juga harus tunduk kepada VOC dan melepaskan semua hak dan klaimnya sebagai raja Mataram.

Ia juga harus menyerahkan beberapa barang berharga miliknya, seperti pusaka kerajaan, perhiasan, dan kain sutra.

Amangkurat III menghabiskan sisa hidupnya di Batavia tanpa bisa kembali ke tanah airnya.

Ia meninggal pada tahun 1734 karena sakit.

Jenazahnya kemudian dibawa ke Sri Lanka (Ceylon) oleh VOC dan dimakamkan di sana.

Makamnya berada di sebuah pemakaman Muslim di Galle, sebuah kota pelabuhan di Sri Lanka selatan.

Artikel Terkait