Penulis
Untuk kali ketiga, Recep Tayyip Erdogan menjadi presiden Turki setelah memenangkan putaran kedua Pilpres Turki 2023.
Intisari-Online.com -Recep Tayyip Erdogan kembali menjadi Presiden Turki untuk ketiga kalinya.
Presiden petahana itu berhasil mengalahkan lawannya Kemal Kilicdargolu dalam putaran kedua Pilpres Turki 2023, Minggu (28/5) kemarin.
Artinya, Erdogan akan melanjutkan penguasaannya atas Turki yang telah dia duduki sejak beberapa tahun yang lalu.
Hasil resmi menunjukkan Erdogan meraup 52,1 persen suara dalam Pilpres Turki putaran kedua.
Sementara lawannya, Kemal Kilicdaroglu mendapatkan suara 47,9 persen suara.
Dengan ini, dia berhasil memperpanjang kekuasaannya di Turki hingga 2028.
Pilpres tahun ini adalah yang ketiga kalinya dimenangkan Erdogan selama dua dekade memerintah Turki.
Erdogan pertama kali terpilih menjadi Presiden Turki pada 2014, setelah menjabat sebagai Perdana Menteri sejak 2003.
Pemilu kali ini telah dilihat sebagai salah satu yang paling penting bagi Turki.
Pihak oposisi yakin bahwa mereka memiliki peluang kuat untuk menggulingkan Erdogan dan membalikkan kebijakannya setelah popularitasnya dilanda krisis biaya hidup.
Sebaliknya, kemenangan Erdogan akan memperkuat citranya yang tak terkalahkan, setelah dia mengubah kebijakan domestik, ekonomi, keamanan, dan luar negeri di negara anggota NATO berpenduduk 85 juta orang itu.
Dalam pidato kemenangan di Ankara, Erdogan berjanji untuk meninggalkan semua perselisihan dan bersatu di belakang nilai-nilai dan impian nasional.
Tetapi, dia kemudian menyerang oposisi dan menuduh Kilicdaroglu berpihak pada teroris tanpa memberikan bukti.
Dia mengatakan, pembebasan mantan pemimpin partai pro-Kurdi Selahattin Demirtas, yang dia cap sebagai "teroris," tidak akan mungkin dilakukan di bawah pemerintahannya.
Erdogan mengatakan inflasi adalah masalah paling mendesak di Turki.
Sementara itu, Kemal Kilicdaroglu menyebut Pilpres kali ini sebagai Pemilu yang paling tidak adil dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, dia tidak membantah hasilnya.
Kekalahan Kilicdaroglu kemungkinan akan diratapi oleh sekutu Turkie di NATO yang khawatir dengan hubungan Erdogan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Putin sendiri dilaporkan telah mengucapkan selamat kepada "sahabatnya" itu atas kemenangan di Pilpres Turkie 2023.
Presiden AS Joe Biden menulis di Twitter, "Saya berharap dapat terus bekerja sama sebagai Sekutu NATO dalam masalah bilateral dan berbagi tantangan global".
Recep Tayyip Erdogan telah tumbuh menjadi seorang raksasa politik, memimpin Turkie selama 20 tahun.
Dia berhasil membentuk kembali negaranya melebihi pemimpin mana pun sejak era Mustafa Kemal Ataturk, bapak republik modern yang sangat dihormati di Turki.
Namun peluangnya untuk melanggengkan kekuasaannya hingga dekade ketiga berada di ujung tanduk, karena Turki tertatih-tatih akibat diguncang gempa terdahsyat sejak 1999.
Oposisi menuduhnya gagal memitigasi bencana di negara yang rawan gempa, juga salah mengelola ekonomi.
Recep Tayyip Erdogan lahir pada Februari 1954.
Dia dibesarkan sebagai putra dari seorang pelaut di Angkatan Laut di Laut Hitam di wilayah utara Turki.
Ketika dia berusia 13 tahun, ayahnya memutuskan untuk pindah ke Istanbul, dengan harapan bisa memberikan pendidikan yang lebih baik kepada kelima anaknya.
Saat muda, Erdogan pernah berjualan limun dan bagel wijen, yang dikenal sebagai “simit” demi mendapatkan uang tambahan.
Dia bersekolah di sekolah Islam sebelum meraih gelar manajemen dari Universitas Marmara Istanbul.
Gelar diplomanya kerap menjadi sumber kontroversi.
Oposisi menuding Erdogan tidak memiliki gelar sarjana penuh, namun setara dengan gelar vokasi, sebuah tuduhan yang selalu dibantah oleh Erdogan.
Erdogan muda juga tertarik pada sepak bola. Dia sempat menjadi bagian dari tim semi-profesional hingga tahun 1980-an.
Namun hasrat utamanya adalah politik. Pada 1970-an dan 1980-an, dia aktif di kalangan Islamis, dan bergabung dengna Partai Kesejahteraan pro-Islam pimpinan Necmettin Erbakan.
Ketika partai tersebut semakin populer pada 1990-an, Erdogan mencalonkan diri sebagai wali kota Istanbul pada 1994, dan memimpin kota itu selama empat tahun.
Erbakan, perdana menteri Islamis pertama Turkiye, menjabat hanya satu tahun sebelum dipaksa mundur pada 1997 oleh militer, dan Erdogan juga berkonflik dengan otoritas sekuler di negara itu.
Pada tahun yang sama, dia dihukum karena menghasut kebencian rasial setelah membaca puisi nasionalis di depan umum yang salah satu lariknya berbunyi:
“Masjid adalah barak kami, kubah adalah helm kami, menara masjid adalah bayonet kami, dan orang-orang yang loyal adalah tentara kami.”
Setelah menjalani hukuman empat bulan penjara, dia kembali terjun ke dunia politik.
Namun pada 1998, partai politiknya dilarang oleh pemerintah karena melanggar prinsip-prinsip sekuler yang ketat dari negara Turki modern.
Pada Agustus 2001, Erdogan mendirikan partai berakar Islam baru bersama sekutunya, Abdullah Gul, yang diberi nama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Popularitas Erdogan meningkat, terutama di kalangan dua kelompok:
Pertama, oleh kelompok religius mayoritas Turkiye yang merasa terpinggirkan oleh elite sekuler di negara itu.
Kedua, oleh mereka yang menderita akibat krisis ekonomi pada akhir 1990-an.
Pada tahun 2002, AKP memenangkan pemilihan parlemen. Pada tahun berikutnya, Erdogan diangkat sebagai perdana menteri. Erdogan bertahan sebagai ketua partai hingga saat ini.
Sejak tahun 2003, Erdogan menjadi perdana menteri selama tiga periode, pada era pertumbuhan ekonomi yang stabil sehingga Erdogan mendapat pujian internasional sebagai seorang reformis.
Kelompok kelas menengah di Turkie berkembang, dan jutaan orang keluar dari kemiskinan karena Erdogan memprioritaskan proyek-proyek infrastruktur raksasa untuk memodernisasi Turkie.
Erdogan berhasil meyakinkan pemilih dari kelompok minoritas Kurdi di Turki selama tahun-tahun awal dia berkuasa.
Hak-hak orang Kurdi dipulihkan dan setelah tiga dekade berkonflik, proses perdamaian baru diluncurkan pada Maret 2013 yang membuat kelompok militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) mengumumkan gencatan senjata.
Namun kesekapatan itu hanya bertahan dua tahun, sebelum siklus kekerasan yang berkepanjangan itu kembali terjadi.
Pada 2013, para kritikus mulai memperingatkan bahwa Erdogan menjadi semakin otokratis.
Pada musim panas 2013, pengunjuk rasa turun ke jalan, sebagian dipicu rencana pemerintahan Erdogan mengubah taman yang sangat disukai orang-orang di pusat Kota Istanbul, juga untuk menantang pemerintahannya yang semakin otoriter.
Erdogan memerintahkan penggusuran paksa pengunjuk rasa dari Taman Gezi dan penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan memicu demonstrasi massa yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Itu menandai titik balik dalam pemerintahannya. Di mata para pengkritiknya, Erdogan bertindak lebih seperti seorang sultan dari Kesultanan Ustmaniyah dibandingkan seorang demokrat.