Find Us On Social Media :

Tak Hanya Jawa, Minahasa Juga Punya Sosok Tokoh Emansipasi Wanita

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 27 Mei 2023 | 18:17 WIB

Maria Walanda Maramis, sosok tokoh emansipasi wanita asal Minahasa, Sulawesi Utara. Perjuangannya sejajar dengan RA Kartini.

Maria Walanda Maramis, sosok tokoh emansipasi wanita asal Minahasa, Sulawesi Utara. Perjuangannya sejajar dengan RA Kartini.

Intisari-Online.com - Indonesia, khususnya, Jawa cukup bangga dengan keberadaan Raden Ajeng Kartini sebagao tokoh emansipasi wanita.

Tapi ingat, tak hanya Jawa yang punya tokoh serupa.

Minahasa juga ada.

Dialah Maria Walanda Maramis, tokoh emansipasi wanita asli Minahasa, Sulawesi Utara.

Maria Walanda Maramis punya nama asli Maria Yosephine Catherina Maramis.

Dia lahir di Kema, Sulawesi Utara pada 1 Desember 1872.

Maria sudah yatim piatu sejak usianya enam tahun.

Sejak itu dia diasuh oleh pamannya.

Maria hanya bersekolah sampai tingkat dasar, selama tiga tahun.

Pada waktu itu, anak-anak perempuan di Minahasa tidak diizinkan sekolah lebih tinggi.

Mereka harus tinggal di rumah untuk menunggu dipersunting.

Maria terpaksa menjalani aturan itu.

Walau begitu, dia banyak bergaul dengan orang terpelajar.

Salah satunya Ten Hove, pendeta Belanda di Maumbi yang menginspirasinya memajukan kaum wanita di Minahasa.

Saat usianya 18 tahun, Maria menikah dengan pria bernama Jozef Frederik Calusung Walanda.

Beruntung sekali, Jozef adalah guru bahasa di HIS Manado.

Suaminya mengajarkan banyak hal tentang bahasa dan berbagai pengetahuan lain.

Mereka tinggal di di Airmadidi dan Maumbi, Minahasa Utara, 10 kilometer arah timur Manado.

Pada waktu itu, wanita di lingkungan tinggal Maria tidak punya banyak pengetahuan soal kesehatan, rumah tangga, dan mengasuh anak.

Diam-diam, Maria berkeliling dari kolong rumah panggung ke kolong rumah panggung yang lain untuk mendidik para perempuan menyulam, memasak, hingga membuat kue.

Dia mempelajari banyak hal dari Ibu Ten Hove.

Pada masa itu, keterampilan menjadi modal berharga di tengah keterbatasan akses pendidikan.

Maria pun mendorong para perempuan yang sudah mahir untuk berbagi keterampilan kepada sesama.

Larangan dan tekanan dari Belanda tak membuat Maria gentar.

Maria mendirikan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) tahun 1917 di Manado.

Berkat kepiawaiannya melobi, Walanda mendapat pinjaman rumah dari pedagang Belanda, A Bollegraf, untuk membuka sekolah rumah tangga, setahun kemudian.

Sekolah ini menampung gadis-gadis pribumi tamatan sekolah rendah dari berbagai kalangan.

Gerakan Maria mendapat dukungan dari banyak pihak.

Berkat kerja kerasnya, PIKAT membuka cabang hingga ke Kalimantan dan Jawa.

Kegiatan organisasi diperkenalkan ke masyarakat melalui karangan-karangan yang dimuat dalam surat kabar.

Kiprah tersebut membuatnya semakin diperhitungkan Belanda.

Pada 1920, Gubernur Jenderal Belanda mengunjungi Sekolah PIKAT dan memberi sumbangan uang.

Atas kebolehannya bernegosiasi pula, Walanda sukses memperjuangkan hak pilih perempuan dalam Badan Perwakilan Minahasa (Volksraad atau Minahasa Raad) tahun 1921.

Walanda diizinkan untuk menyekolahkan dua putrinya, Wilhelmina Frederika dan Anna Pawlona, ke sekolah pendidikan guru di Batavia.

Setamat di sekolah itu, Wilhelmina dan Anna kembali ke Manado mengajar di Hollandsch-Chinescheschool, sekolah yang didirikan Belanda untuk anak-anak keturunan China.

Sayangnya, pada 22 April 1924, Maria tutup usia.

Dia dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia pada 20 Mei 1969 berdasarkan SK Presiden No 012/TK/1969.

Untuk mengenang jasanya, Pemda Minahasa membangun Monumen Maria Walanda Maramis di Desa Maumbi.

Selain itu, setiap tanggal 1 Desember, rakyat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis.