Kisah Cinta Raja Mataram Islam Panembahan Senopati Dan Retno Dumilah Terabadikan Dalam Tari Bedaya Bedah Madiun

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Tari Bedaya Bedah Madiun merupakan gambaran kisah asmara Panembahan Senpati dari Mataram Islam dengan Retno Dumilah dari Madiun.

Tari Bedaya Bedah Madiun merupakan gambaran kisah asmara Panembahan Senpati dari Mataram Islam dengan Retno Dumilah dari Madiun.

Intisari-Online.com -Sekitar tahun 1590, Madiun akhirnya takluk kepada Mataram Islam.

Dalam serangan yang dilancarkan oleh gabungan pasukan Mataram, Pajang, Pati, dan Demak tersebut, Adipati Madiun Rangga Jumena melarikan diri ke Surabaya.

Raden Rangga akhirnya memercayakan Kadiaten Madiun kepada putri kesayangannya, Retno Dumilah.

Dia diperintahkan untuk membuat siasat mengalahkan Mataram Islam, mengalahkan Panembahan Senopati.

Tapi sebaliknya, rayuanSenapati yang berwajah tampan dan tegap justru dapat menaklukkan hati Retno Dumilah.

Hal ini karenaSenapati datang ke Madiun bukan untuk menaklukkan.

Tapi untuk mempersatukan darah Mataram dan darah Demak agar dapat menjadi kerajaan yang bersatu.

Retno Dumilah sebagai seorang wanita terhormat tidak mau menyerah kepada bujuk rayu Senapati begitu saja.

Dia perlu membuktikan bahwa Senapati unggul dalam peperangan.

Setelah terbukti kesaktian Senapati, akhirnya Retno Dumilah menyerah dan dipersunting oleh Panembahan Senapati.

Kisah cinta dan bersatunya Panembahan Senopati dan Retno Dumilah ini kemudian diabadikan dalam sebuah tari yang bernama Tari Bedabay Bedah Madiun.

Penciptanya adalahMangkunegara IV.

Hal itu diperkuat dengan pernyataan Dhian Rohmawati dalam abstrak Skripsi-nya yang berjudul "Kajian Nilai Estetis Tari Bedhaya Bedhah Madiun Di Pura Mangkunegaran Surakarta".

Dia menulis begini:

"Tari Bedhaya Bedhah Madiun merupakan tarian yang dibuat berdasarkan cerita Panembahan Senopati Mataram yang menyerang ke daerah Madiun pada 1586 sampai 1601.

Pada akhirnya Panembahan Senopati Mataram melawan anak dari Adipati Madiun yang bernama Retno Dumilah.

Retno Dumilah kalah dan bersedia menjadi Istri Panembahan Senopati Mataram."

Masih dari sumber yang sama, Tari Bedhaya Bedhah Madiun atau Tari Bedaya Bedah Madiun ditarikan oleh tujuh orang penari putri.

Tujuh penari melambangkan tujuh kesempurnaan hidup:Khayu (hidup), Nur (cahaya), Roh (sukma), Sir (rasa), Nafsu (angkara), Akal (budi), dan Jasad (badan).

Sementara menurut Sriyadi dalam tulisannya di Nusantara Institute berjudul "Karakteristik Tari Bedhaya Bedhah Madiun D Pura Mangkunegaraan, Surakarta," tari ini juga bisa ditarikan oleh sembilan orang.

Dia juga menulis bahwatari Bedhaya Bedhah Madiun merupakan repertoar tari gaya Yogyakarta yang berkembang di Mangkunegaran.

Ada beberapa faktor soal keberadaan tari Bedaya Bedha Madiun gaya Yogyakarta di Mangkunegaraan.

Salah satunya adalah upayaMangkunegaran yang ingin merdeka dari Kraton Kasunanan Surakarta.

Keadaan sosial politik Mangkunegaran yang kurang stabil menyebabkan terjadinya politik pernikahan antara Mangkunegaran dengan Kraton Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Mangkunegara VII.

Dari situ lalu muncullahinteraksi budaya antara Mangkunegaran dan Yogyakarta.

Interaksi budaya didukung dengan adanya kebijakan Mangkunegara VII untuk mengembangkan kesenian di Mangkunegaran.

Gaya kepemimpinan Mangkunegara VII yang demokratis, modern, dan berpandangan luas menyebabkan terjadinya absorpsi tari gaya Yogyakarta dari interaksi budaya.

Sebagai hasil absorpsi dari tari gaya Yogyakarta, tari Bedhaya Bedhah Madiun di Mangkunegaran pada dasarnya menggunakan gaya Yogyakarta.

Namun demikian, tari Bedhaya Bedhah Madiun di Mangkunegaran disebut sebagai tari gaya Mangkunegaran.

Hal ini disebabkan karena tari Bedhaya Bedhah Madiun di Mangkunegaran memiliki karakteristik yang berbeda dengan tari gaya Yogyakarta.

Artikel Terkait