Penulis
Intisari-online.com -Pada tanggal 26 Mei 1972, Presiden AS Richard Nixon dan Pemimpin Uni Soviet Leonid Brezhnev meneken Traktat Peluru Kendali Anti-Balistik (ABM).
Traktat ini adalah salah satu perjanjian kontrol senjata nuklir terpenting dalam sejarah, karena bertujuan untuk mengurangi risiko perang nuklir antara dua negara adikuasa.
Traktat ABM melarang kedua belah pihak untuk memiliki lebih dari dua sistem peluru kendali anti-balistik, yaitu rudal yang dapat menghancurkan rudal balistik yang membawa hulu ledak nuklir.
Sistem-sistem ini hanya boleh digunakan untuk melindungi ibu kota masing-masing negara dan satu lokasi militer.
Selain itu, traktat ini juga membatasi jumlah rudal dan radar yang dapat digunakan dalam sistem ABM.
Tujuan dari traktat ABM adalah untuk menjaga keseimbangan strategis antara AS dan Uni Soviet, dengan menghindari perlombaan senjata nuklir yang tidak terbatas.
Dengan membatasi kemampuan pertahanan nuklir, traktat ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas krisis.
Dengan membuat kedua belah pihak lebih enggan untuk melakukan serangan nuklir pertama, karena takut akan balasan yang menghancurkan.
Traktat ABM merupakan hasil dari negosiasi yang panjang dan rumit antara AS dan Uni Soviet, yang dimulai pada tahun 1969.
Negosiasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perkembangan teknologi rudal, perubahan politik di kedua negara, tekanan dari sekutu-sekutu NATO dan Warsawa, serta gerakan anti-perang dan anti-nuklir di seluruh dunia.
Traktat ABM juga merupakan bagian dari upaya Nixon untuk mendekati Uni Soviet melalui kebijakan détente, yang bertujuan untuk meredakan ketegangan Perang Dingin.
Traktat ABM berlaku selama 30 tahun, dari tahun 1972 sampai tahun 2002.
Selama periode itu, traktat ini mengalami beberapa modifikasi dan penyesuaian, sesuai dengan perubahan situasi keamanan global.
Pada tahun 1974, kedua belah pihak sepakat untuk mengurangi jumlah sistem ABM menjadi satu saja.
Pada tahun 1987, AS dan Uni Soviet juga menandatangani Traktat Intermediate-Range Nuclear Forces (INF), yang melarang semua rudal balistik jarak menengah di Eropa.
Namun, traktat ABM juga menghadapi beberapa tantangan dan kritik, baik dari dalam maupun luar kedua negara.
Beberapa pihak menganggap traktat ABM sebagai pengorbanan keamanan nasional demi kerjasama internasional.
Beberapa pihak lain mengkhawatirkan bahwa traktat ABM akan menghambat pengembangan teknologi pertahanan nuklir yang lebih canggih dan efektif.
Selain itu, munculnya negara-negara nuklir baru, seperti Cina, India, Pakistan, dan Korea Utara, juga menimbulkan pertanyaan tentang relevansi traktat ABM dalam konteks multipolar.
Pada tahun 2001, Presiden AS George W. Bush mengumumkan bahwa AS akan keluar dari traktat ABM, dengan alasan bahwa traktat tersebut sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan ancaman masa kini.
Keputusan ini menimbulkan kekecewaan dan kecaman dari Uni Soviet (yang kemudian menjadi Rusia) dan banyak negara lain.
AS kemudian melanjutkan rencananya untuk membangun Sistem Pertahanan Rudal Nasional (NMD), yang bertujuan untuk melindungi wilayah AS dari serangan rudal balistik dari negara-negara nakal.
Baca Juga: Peristiwa Heroik Sultan Baabullah yang Berhasil Membela Ternate dari Serangan Portugis pada 25 Mei
Traktat ABM adalah salah satu contoh perjanjian sejarah yang mencerminkan upaya AS dan Uni Soviet untuk mengendalikan senjata nuklir mereka dan mencegah perang nuklir.
Meskipun traktat ini sudah tidak berlaku lagi, dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Traktat ABM juga memberikan pelajaran penting tentang tantangan dan peluang dalam bidang kontrol senjata nuklir di masa depan.