Penulis
Intisari-online.com - Salah satu kerajaan besar yang pernah ada di tanah Jawa adalah Kesultanan Mataram Islam.
Kerajaan ini mencapai masa keemasannya di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).
Pada saat itu berhasil menguasai hampir seluruh Jawa, kecuali Batavia yang dikuasai oleh VOC.
Selain itu, Sultan Agung juga memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya di daerah-daerah yang masih beragama Hindu atau Buddha.
Bali adalah salah satu daerah yang menjadi target Sultan Agung, karena pulau ini memiliki pesona alam dan budaya yang menarik.
Bali saat itu masih berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit, yang merupakan lawan utama Mataram.
Selain itu, Bali juga memiliki hubungan erat dengan Blambangan, sebuah wilayah di ujung timur Jawa yang juga beragama Hindu Shiwais.
Untuk mewujudkan tujuannya, Sultan Agung melakukan beberapa langkah, antara lain.
Menaklukkan wilayah-wilayah di timur Jawa, seperti Surabaya, Madura, Pasuruan, dan Kediri.
Dengan demikian, Mataram dapat mengendalikan jalur laut menuju Bali dan memutus hubungan Bali dengan Jawa.
Mengirim utusan ke Portugis di Malaka untuk meminta bantuan senjata dan kapal perang.
Baca Juga: Sejarawan Sebut Tak Ada Wangsa Sanjaya, Raja-raja Kerajaan Mataram Kuno Semuanya Wangsa Syailendra
Sultan Agung berharap dapat bersekutu dengan Portugis untuk melawan musuh bersama, yaitu VOC dan Bali.
Menyerang Bali secara langsung dengan mengerahkan pasukan besar-besaran.
Serangan ini dilakukan pada tahun 1639 dan 1641, tetapi mengalami kegagalan karena mendapat perlawanan keras dari raja-raja Bali dan Blambangan.
Kegagalan ini menyebabkan Mataram mengalami kerugian besar, baik dari segi ekonomi maupun sosial.
Banyak rakyat Mataram yang gugur atau luka dalam peperangan, sementara sumber daya alam dan keuangan terpakai untuk membiayai perang.
Selain itu, tujuan penyebaran Islam juga tidak tercapai karena Bali dan Blambangan tetap setia dengan agama dan budaya mereka.
Perjuangan Mataram menyeberang ke Bali dan Blambangan ini menunjukkan bahwa Sultan Agung menghadapi tantangan besar dalam menghadapi keragaman Nusantara.
Meskipun memiliki niat baik untuk menyatukan dan mengislamkan wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya.
Sultan Agung tidak dapat mengesampingkan kenyataan bahwa setiap daerah memiliki sejarah, tradisi, dan identitasnya sendiri.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih bijaksana dan toleran dalam berinteraksi dengan daerah-daerah yang berbeda dari Mataram.
Setelah mengalami kegagalan dalam menyerang Bali, Mataram tidak berhenti berusaha untuk mengembangkan wilayah dan pengaruhnya.
Baca Juga: Hal Pertama Yang Dilakukan Panembahan Senopati Usai Jadi Raja Mataram Islam: Ingin Kuasai Jawa Timur
Namun, Mataram juga menghadapi berbagai masalah dan konflik, baik dari dalam maupun dari luar.
Beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Mataram setelah menyerang Bali seperti.
Pemberontakan Raden Mas Alit dan Trunojoyo (1674-1680).
Raden Mas Alit adalah putra sulung Sultan Agung yang tidak diakui sebagai pewaris takhta oleh ayahnya.
Ia kemudian memberontak dan mendapat dukungan dari Trunojoyo, seorang penguasa Madura yang juga ingin melepaskan diri dari Mataram.
Pemberontakan ini berhasil merebut ibu kota Mataram, Plered, dan membunuh Sultan Agung II (Amangkurat I).
Namun, pemberontakan ini akhirnya dapat dipadamkan oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC.
Perjanjian Giyanti (1755). Perjanjian ini merupakan hasil dari perang saudara antara Pakubuwana II dan Mangkubumi yang terjadi sejak 1746.
Perjanjian ini membagi wilayah Mataram menjadi dua bagian, yaitu Surakarta yang diperintah oleh Pakubuwana II dan Yogyakarta yang diperintah oleh Mangkubumi dengan gelar Hamengkubuwana I.
Perjanjian ini juga mengakui VOC sebagai penguasa de facto di Jawa.