Penulis
Setelah gagal mengalahkan VOC di Batavia, Dipati Ukur memutuskan membangkang kepada Mataram Islam. Hasilnya adalah hukuman mati
Intisari-Online.com -Nama Dipati Ukur begitu legendaris di Tanah Sunda.
Dia adalah bangsawan Priangan yang begitu kesohor di sekitar abad 17.
Tapi sayang, nasibnya tragis di tiang gantungan Mataram Islam.
Dipati Ukur pernah menyerang VOC di Batavia atas perintah Sultan Agung dari Mataram Islam.
Sayang serangan itu gagal, jabatan Dipati Ukur pun dicopot oleh penguasa Mataram.
Tak hanya dicopot, Dipati Ukur juga mendapat hukuman mati dari penguasa Mataram Islam.
Tapi sebelum tertangkap, Dipati Ukur ternyata sempat hidup berpindah-pindah dalam pelarian.
Ketika menguasai Tanah Pasundan, Mataram Islam menunjuk Dipati Ukur sebagai bupati wedana di Priangan.
Sebagai bawahan Mataram Islam, Dipati Ukur mendapat tugas menyerang VOC di Batavia.
Ketika itu Dipati Ukur ditandemkan dengan Tumenggung Bahurekso yang merupakan Bupati Kendal.
Saat menuju Batavia, Dipati Ukur memakai jalan darat sementara Bahurekso melalui laut, masing-masing membawa 10.000 prajurit.
Titik kumpul mereka adalah Karawang.
Pasukan Dipati Ukur terdiri atas 9 umbul, yaitu umbul-umbul: Batulayang, Saunggatang, Taraju, Kahuripan, Medangsasigar, Malangbong, Mananggel, Sagaraherang dan Ukur, masing-masing selaku kepala pasukan di bawah komando Dipati Ukur.
Pasukan itu berangkat dari Tatar Ukur, melewati Cikao--sekarang Purwakarta, dan berbelok ke arah utara sampai Karawang.
Tapi setelah tujuh hari, Bahurekso tak kunjung muncul di Karawang.
Dia pun memutuskan menyerang Batavia sendirian.
VOC sempat terkejut atas serangan tersebut.
Semula pasukan Dipati Ukur dapat menandingi perlawanan VOC, tetapi karena persenjataan yang tidak seimbang dan kekuatan benteng pertahanan VOC yang kokoh, pasukan Dipati Ukur menjadi kacau balau dan dapat dipukul mundur oleh VOC.
Siangkat cerita, serbuan pasukan yang dipimpin Dipati Ukur gagal total.
Tapi alih-alih kembali ke Mataram, Dipati Ukur dan pasukannya malah sembunyi di Goa Pongporang.
Di sisi lain, Bahurekso yang baru tiba di Karawang merasa kesal, karena sekondannya itu tak ada di sana.
Bersama pasukannya dia segera menyusul ke Batavia dan melangsungkan serangan terhadap VOC.
Namun Bahurekso mengalami kekalahan dan mundur sampai Karawang.
Di Karawang, Bahurekso mencari tahu keberadaan Dipati Ukur. Setelah mendapatkan informasi, ia kembali ke Mataram.
Di Mataram, Bahurekso melaporkan kekalahannya kepada Sultan Agung, termasuk tindakan Dipati Ukur menyerang ke Batavia tanpa menunggu kedatangan pasukan Bahurekso.
Bahurekso menilai, kekalahan Mataram disebabkan oleh terpecahnya kekuatan pasukan.
Sultan Agung merasa kecewa mendengar laporan tersebut.
Kekecewaan itu bertambah ketika keempat umbul pengikut Dipati Ukur telah sampai di Mataram.
Mereka melaporkan tentang kekalahan pasukan Dipati Ukur terhadap VOC dan memberitahukan lokasi persembunyian Dipati Ukur di Gunung Pongporang.
Kekalahan Dipati Ukur dan tidak kembalinya Dipati Ukur ke Mataram dianggap oleh Sultan Agung sebagai pemberontakan terhadap penguasa kerajaan Mataram.
Sultan Agung kemudian mengutus Bahurekso untuk menangkap Dipati Ukur.
Keempat umbul yang menentang Dipati Ukur dijadikan sebagai penunjuk jalan.
Kabar tentang datangnya serbuan bala tentara Mataram yang dipimpin Bahurekso telah sampai kepada Dipati Ukur.
Berita itu tidak mengagetkannya karena Dipati Ukur sudah menduga bahwa akan diperangi pasukan Mataram.
Dipati Ukur memanggil para umbul pengikutnya agar mengatur pasukan masing-masing untuk menghadapi peperangan.
Bahurekso mengirimkan utusan kepada Dipati Ukur untuk menanyakan, apakah ia akan menyerah atau tidak.
Dipati Ukur menjawab bahwa ia telah bertekad untuk melawan.
Terjadilah perang antara pasukan Dipati Ukur melawan pasukan Bahurekso.
Karena jumlah pasukan Bahurekso lebih banyak, pasukan Dipati Ukur terdesak.
Dipati Ukur dan pengikutnya berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Gunung Lumbung.
Di sana, mereka membangun perkampungan dan tinggal di sana bersama sekitar 1000 orang pengikut beserta keluarganya.
Di sana mereka bercocok tanam, membuka sawah dan tegalan.
Setahun kemudian Dipati Ukur mendapat serangan lagi dari pasukan Mataram, dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Pasukan Dipati Ukur melawan dan berhasil meloloskan diri.
Berdasarkan catatan Belanda, Sekitar 100.000 pasukan dikerahkan untuk meratakan tanah Ukur dan Sumedang.
Banyak dari penduduk Ukur ini yang mengungsi ke Banten dan Batavia.
Pasukan Dipati Ukur yang bertahan di Gunung Lumbung berhasil menahan serangan pertama dari pasukan Mataram.
Pada serangan kedua, Tumenggung Narapaksa bertemu dengan seseorang yang menguasai wilayah Gunung Lumbung.
Selain itu ia dibantu oleh pasukan yang berasal dari tanah Pasundan.
Di dalam Naskah Leiden Oriental yang ditulis oleh R.A. Sukamandara disebutkan bahwa Dipati Ukur ditangkap oleh pasukan yang dipimpin Bagus Sutapura, Adipati Kawasen.
Serangan ini berhasil mematahkan pertahanan Dipati Ukur.
Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung pada tahun 1632 dan dihukum mati di Mataram.
Begitulah kisah pembangkangan Dipati Ukur kepada Mataram Islam.