Di Balik Senyum Dingin Soeharto Untuk Habibe Usai Lengser Keprabon

Yoyok Prima Maulana

Penulis

Habibie merasa diabaikan oleh Soeharto saat prosesi pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998.

Intisari-online.com - Medio Mei 1998. Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun terpojok oleh situasi ekonomi dan politik yang memanas.

Akhirnya, putusan mengundurkan diri sebagai presiden Indonesia pun diambil olehnya.

Pada 20 Mei 1998, sehari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, ia bertemu dengan Habibie di istana.

Mereka sempat berbicara tentang beberapa hal. Saat itu sudah tersebar isu bahwa Soeharto akan melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI.

“Pak Harto, bagaimana nasib saya sebagai Wakil Presiden?” tanya Habibie, seperti yang ia tulis dan ingat dalam Buku Detik-Detik Yang Menentukan (2006: 37).

Jawaban Soeharto membuat Habibie terkejut. “Nanti saja. Bisa Sabtu, Senin, atau sebulan lagi, Habibie akan meneruskan tugas sebagai Presiden.”

“Apakah Pak Harto sudah menerima surat pengunduran diri dari Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan empat belas Menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin?” tanya Habibie untuk mengalihkan pembicaraan sebelumnya yang membuatnya tidak nyaman.

Soeharto mengatakan sudah mendengar, tapi belum membahasnya. Soeharto lalu menyodorkan tangannya dan menjabat tangan Habibie.

Ia juga memberi pesan agar Habibie menjalankan tugas dengan baik dan menangani masalah Ginandjar dan teman-temannya dengan baik. Habibie menjawab, “akan saya usahakan.”

Menurut Probosutedjo dalam Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto (2013: 594),

Habibie awalnya ditanya apakah ia siap menggantikan Soeharto sebagai presiden. Habibie merasa ragu-ragu. Setelah mendengar berita para menteri mengundurkan diri, Habibie akhirnya mengatakan ia sanggup.

Sikap Habibie yang berubah-ubah ini membuat Soeharto kecewa. “Mas Harto tidak bisa mengerti, bagaimana mungkin keputusan yang sangat penting seperti ‘sanggup tidaknya’ menjadi presiden bisa berubah drastis hanya dalam hitungan hari. Belum sampai 24 jam,” kata Probosutedjo.

SENYUM DINGIN SANG MENTOR

Habibie merasa diabaikan oleh Soeharto di hari terakhir jabatannya sebagai presiden.

Mereka berdua ada di Ruang Jepara, Istana Negara, tetapi Soeharto tidak mengajaknya bicara. “Saya merasa diperlakukan tidak seperti biasanya,” kata Habibie.

Saat Habibie ingin mendekati Soeharto, acara sudah mau dimulai. Habibie hanya bisa berdiri di samping Soeharto. Kemudian, Soeharto membacakan pernyataan yang mengakhiri Orde Baru: pengunduran dirinya sebagai Presiden RI.

“Wajah Soeharto terlihat dingin saat menyampaikan pernyataan pengunduran dirinya,” tulis Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno Sampai SBY (2009: 123).

Soeharto seolah merasa dipermalukan di depan seluruh rakyat Indonesia dan dunia. Peristiwa ini ditayangkan berulang kali di televisi.

Namun, dia tetap berusaha tegar di hari yang menyedihkan itu. Setelah Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI, protokol istana memberikan map kepada Habibie dan memintanya membacakan sumpah dan kewajibannya sebagai Presiden RI.

“Semuanya berjalan cepat dan lancar. Pak Harto menyapa semua yang hadir termasuk saya. Tanpa senyum maupun kata-kata, ia [kemudian] meninggalkan ruang upacara,” ujar Habibie.

Pada hari itu, tidak ada ucapan selamat dari Soeharto untuk Habibie.

“Saat menyalami tangan Habibie setelah Habibie mengucapkan sumpahnya di depan Ketua Mahkamah Agung, ia (Soeharto) mencoba tersenyum, tetapi senyumnya terlihat tidak tulus karena ekspresi wajahnya tidak mendukung senyumnya," tulis Tjipta Lesmana.

Artikel ini dibuat dengan bantuan AI

Baca Juga: Tiga Orang Ini Membuat Soeharto Sakit Hati Sampai Dibawa Mati

Artikel Terkait