Penulis
Thudong merupakan ritual jalan kaki yang dilakukan para biksu dalam mengikuti jejak Buddha. Sebelumnya mereka harus puasa 40 hari.
Intisari-Online.com -Beberapa hari ini kita disuguhi foto-foto puluhan biksu jalan kaki menuju Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Biksu-biksu yang berasal dari Thailand itu disebut hendak menghadiri puncak Hari Raya Waisak yang berlangsung pada 4 Juni 2023 nanti.
Aksi mereka tentu membuat kita semua takjub.
Selain rahasia kuatnya stamina mereka berjalan kaki puluhan ribu kilometer, tentu kita bertanya apa yang sebenarnya mereka lalukan.
Belakangan, kita tahu, ritual jalan kaki yang dilakukan para biksu dari Thailand itu disebut dengan Thudong.
Ritual ini secara garis besar merupakan perjalanan biksu untuk mengikuti jejak Buddha.
Apa lagi yang perlu kita ketahui tentang Tudhong?
Sekitar 32 biksu atau bhante memulai ritual jalan kaki dari Nakhon Si Thammarat, Thailand, menuju Candi Boroburud, yang ada di Magelang, Jawa Tengah.
Perjalanan tersebut dimulai pada Kamis, 23 Maret 2023 lalu.
Rencananya, mereka akan tiba di Candi Borobudur pada 31 Mei 2023 nanti.
Seperti disebut di awal, puncak Hari Raya Waisak sendiri akan berlangsung pada 4 Juni 2023, tepat di hari Minggu.
Total jenderal, para biksu itu akan menempuh jarak sekitar 2.600 kilometer, melewati Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Menurut keterangan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Supriyadi, thudong adalah perjalanan spiritual untuk mengikuti jejak Buddha saat masih hidup ketika belum ada wihara dan transportasi.
Thudong dilaksanakan dengan cara berjalan kaki sembari melakukan perenungan.
Mereka, para bhante, bhikkhu, atau biksu, itu akan terus berjalan kaki, masuk dari hutan satu ke hutan yang lain, demi memenuhi darma mereka.
Ternyata ada ritual lain sebelum mereka melakukan thudong.
Yaitu, para biksu itu harus berdiam diri di satu tempat dan puasa selama empat bulan.
Puasa ini dilakukan saat musim hujan.
Ketika kemarau datang, mereka akan melakukan thudong ini.
Thudong sendiri biasanya akan dilangsungkan selama empat bulan, tujuannya untuk mendapatkan dan mengembangkan kemampuan spiritual para biksu tersebut.
Selain fisik, perjalanan ini tentu harus dipersiapkan dengan sangat matang.
Thudong sendiri tidak dibatasi seberapa jauh rute yang akan ditempuh.
Semuanya tergantung niat dan waktu para bisku memulai perjalanan.
Selama dalam perjalanan, para biksu akan menerima makanan dari umat Buddha.
Tradisi memberikan makanan tersebut bernama pindapata.
"Bhante mendapatkan dukungan dari umat, menerima dana makan dari umat melalui mangkuk itu," ujarnya.
Para biksu yang melakukan thudong hanya akan makan satu atau dua kali sehari.
Biksu akan makan hanya pukul 07.00 pagi atau ditambah pukul 12.00 siang bagi yang makan dua kali sehari.
Sampai pukul 07.00 pagi keesokan harinya, mereka hanya dibolehkan minum.
"Kalau disertai dan diawali dengan tekad kuat menjadi motivasi untuk pengembangan kepribadiannya. Kalau kesal dan lapar, tidak mengeluh," ucapnya.
Lalu apakah mereka boleh tidur?
Para biksu tetap akan bermeditasi sepanjang perjalanan.
Mereka bahkan tetap bermeditasi saat istirahat.
Para biksu itu tidur dengan alas tidak lebih dari 50 sentimeter, bahkan ada yang tidur sambil duduk saat bermeditasi.
Sebagai lokasi peristirahatan, para biksu akan mendatangi tempat-tempat ibadah lintas agama, seperti wihara, kelenteng, atau bahkan pesantren.
Di Indonesia, mereka bahkan singgah di beberapa pondok pesantren.
Saat melakukan perjalanan, para biksu zaman dulu tidak memakai alas kaki.
Sekarang, mereka ada yang memakai sandal. Karena sering menjalankan thudong, kaki mereka tidak sakit dan sudah terbiasa.
Tradisi thudong tidak dibatasi usia.
Biksu kecil atau dewasa bisa melakukannya selama memiliki fisik dan rohani yang kuat.