Penulis
Intisari-online.com - Jika berbicara mengenai sebuah kerajaan tentu saja memiliki pasukan dan militer, serta ada pemimpin militernya.
Lantas, siapakah pemimpin militer pada masa kerajaan Mataram Islam, kali ini Intisari Online akan membahas sosok tersebut.
Ia adalah Tumenggung Alap-alap adalah salah satu senopati perang dari Kesultanan Mataram yang hidup pada abad ke-17.
Ia dikenal sebagai sosok yang berani dan setia kepada kerajaan, bahkan rela mati demi melawan penjajah Belanda.
Namun, ia juga memiliki kisah yang menyedihkan, yaitu dikhianati oleh raja Mataram sendiri.
Tumenggung Alap-alap lahir dengan nama Raden Bagus Dananjaya.
Ia adalah putra dari Ki Ageng Pemanahan, seorang punggawa Sultan Hadiwijaya dari Pajang.
Kemudian diangkat sebagai anak oleh Sultan Hadiwijaya, karena ayahnya telah berjasa membantu menumpas Arya Penangsang, musuh bebuyutan Pajang.
Sejak kecil, ia sudah dilatih menjadi seorang prajurit yang tangguh dan cakap. Ia mahir mengendarai kuda dan memimpin pasukan.
Ia juga memiliki keberanian yang luar biasa, sehingga mendapat julukan alap-alap, yang berarti elang dalam bahasa Jawa.
Ketika Sultan Hadiwijaya meninggal pada 1582, ia mewariskan tahta Pajang kepada Sutawijaya, putra kandungnya yang lain.
Baca Juga: Terkoyak Tombak Sakti, Inilah Nasib Adipati Pragola II jadi Tumbal Kejayaan Mataram Islam
Sutawijaya kemudian mendirikan Kerajaan Mataram Islam dan menobatkan dirinya sebagai Panembahan Senopati.
Tumenggung Alap-alap tetap setia kepada Sutawijaya dan menjadi salah satu panglima perangnya.
Ia ikut berperang melawan kerajaan-kerajaan lain yang menentang Mataram, seperti Surabaya, Madura, Demak, dan Cirebon.
Bahkanikut berperang melawan Belanda, yang mulai masuk ke Jawa pada akhir abad ke-16.
Belanda datang dengan dalih berdagang, tetapi sebenarnya berniat menguasai sumber daya alam dan politik di Jawa.
Salah satu peristiwa penting yang melibatkan Tumenggung Alap-alap adalah Pertempuran Grobogan pada 1594.
Saat itu, Belanda bersama sekutunya dari Surabaya dan Madura menyerang Mataram dari arah utara.
Tumenggung Alap-alap bersama pasukannya berhasil menghalau serangan musuh dengan gagah berani.
Namun, nasib Tumenggung Alap-alap berubah ketika Sutawijaya meninggal pada 1601 dan digantikan oleh putranya yang bernama Panembahan Seda Krapyak.
Raja baru ini ternyata tidak seberani dan setegas ayahnya. Ia lebih memilih berdamai dengan Belanda daripada melawan mereka.
Pada 1613, Panembahan Seda Krapyak membuat perjanjian dengan Belanda yang disebut Perjanjian Giyanti.
Dalam perjanjian ini, ia menyerahkan sebagian wilayah Mataram kepada Belanda sebagai ganti bantuan militer untuk menghadapi pemberontakan Pangeran Diponegoro.
Tumenggung Alap-alap sangat tidak setuju dengan perjanjian ini.
Ia merasa bahwa raja telah mengkhianati rakyat dan bangsanya sendiri dengan tunduk kepada penjajah asing.
Kemudian ia pun memutuskan untuk keluar dari keraton bersama pasukannya yang setia.
Ia kemudian bersembunyi di Bumi Sukowati, sebuah wilayah di Kabupaten Sragen yang masih termasuk wilayah Mataram.
Di sana, ia membangun markas dan menyusun kekuatan untuk melawan Belanda.
Tumenggung Alap-alap sudah menyiapkan liang kubur untuk dirinya sendiri di Desa Tanggan.
Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, karena Belanda tidak akan tinggal diam dengan perlawanannya.
Pada suatu hari, pasukan Belanda menyerbu markas Tumenggung Alap-alap dengan bantuan dari beberapa penguasa Jawa yang bersekutu dengan mereka.
Mereka membawa senjata api dan meriam yang lebih canggih daripada senjata tradisional yang dimiliki oleh pasukan Mataram.
Tumenggung Alap-alap dan prajuritnya berjuang habis-habisan untuk melindungi markas mereka. Mereka tidak takut mati, karena mereka yakin bahwa mati syahid adalah jalan menuju surga.
Namun, akhirnya mereka kalah jumlah dan kalah persenjataan. Banyak prajurit Mataram yang gugur di medan perang.
Tumenggung Alap-alap sendiri terluka parah oleh tembakan musuh.
Kemudian sebelum meninggal ia meminta untuk dimakamkan di wilayah itu juga yaitu di kawasan Desa Gesi, Sragen.