Sempat-sempatnya Pendiri Mataram Islam Ini Ciptakan Batik Parang, Kepikiran Usai Bertemu Nyi Roro Kidul

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Batik parang disebut-sebut sebagai batik tertua di Mataram Islam, diciptakan oleh Panembahan Senopati setelah bertenyu Nyi Roro Kidul.

Batik parang disebut-sebut sebagai batik tertua di Mataram Islam, diciptakan oleh Panembahan Senopati setelah bertemu Nyi Roro Kidul.

Intisari-Online.com -Di kalangan Mataram Islam batik motif parang masuk kategori sebagai batik larangan.

Sementara di Keraton Yogyakarta ia masuk kategori Awisan Dalem.

Batik motif parang atau batik parang disebut merupakan batik ciptakan Panembahan Senopati, pendiri Mataram Islam.

Nama 'parang' sendiri berasal dari kata pereng yang memiliki makna lereng atau batu karang.

Motif ini tercipta ketika Panembahan Senopati saat mengamati gerak ombak laut selatan yang menerpa karang.

Konon katanya,kala itu Panembahan Senopati bertemu penguasa Laut Kidul atau Nyi Roro Kidul.

Maka, motif lereng pun identik dengan leter ‘S’ yang diambil dari ombak samudra, jalinan motif yang tidak pernah putus pada motif parang menggambarkan hubungan yang terus tersambung.

Garis lurus diagonal pada batik parang melambangkan rasa hormat, keteladanan serta ketaatan pada nilai-nilai kebenaran. Motif batik juga merupakan simbol keteguhan seorang pemimpin.

Menurut budayawan Jawa dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo Tundjung Wahadi Sutirto, maka motif batik parang, merupakan batik tertua yang ada karena diciptakan oleh sang pendiri kerajaan Mataram Islam.

Hal itu yang membuat motif ini menjadi khas milik keluarga kerajaan.

Maka kalau ada larangan menggunakan motif ini dalam acara pernikahan Kaesang-Erina kemarin, kata Tundjung, bukan larangan dalam arti hukum positif.

Terdapat dua versi dalam pemaknaan motif Parang.

Menurut Rouffaer dan Joynboll, motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa saat berperang.

Selain itu, kesatria yang mengenakan motif ini diyakini bisa mendapat kekuatan berlipat.

Dalam versi lain disebutkan bahwa motif Parang diciptakan oleh Panembahan Senopati saat mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai.

Dengan demikian, pola garis lengkungnya diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksud adalah kedudukan raja.

Sedangkan komposisi miring pada motif Parang ini juga menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.

Beberapa jenis batik dengan motif Parang ada yang masuk ke dalam batik larangan.

Batik larangan, atau di Keraton Yogyakarta disebut Awisan Dalem, adalah motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta sehingga tidak semua orang boleh memakainya.

Motif Parang Rusak adalah motif pertama yang ditetapkan sebagai batik larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785.

Motif Parang dan variasinya kembali menjadi batik larangan yang sangat ditekankan di Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939).

Penggunaannya secara khusus tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927 tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Kraton Nagari Yogyakarta.

Ketentuan tersebut memuat aturan penggunaan batik larangan dalam nyamping/bebet dan kampuh/dodot.

Dalam nyamping/bebet, aturan penggunaan motif Parang sebagai batik larangan adalah sebagai berikut:

- Motif Parang Rusak Barong 10 cm hingga tak terbatas hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.

- Motif Parang Barong 10 – 12 cm hanya boleh dikenakan oleh putra mahkota, permaisuri, Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari permaisuri, dan patih.

- Motif Parang Gendreh ukuran 8 cm hanya boleh dikenakan oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, para pangeran dan istri utamanya.

- Motif Parang Klithik ukuran 4 cm ke bawah hanya boleh dikenakan oleh putra ampeyan dalem, dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit/buyut, canggah, dan wareng.

Untuk pemakaian motif Parang sebagai kampuh/dodot aturannya adalah sebagai berikut:

- Motif Parang Barong hanya boleh dikenakan oleh oleh sultan, permaisuri dan istri utama, putra mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, putra sulung sultan dan istri utamanya.

- Kampuh Gendreh hanya boleh dikenakan oleh putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa ampeyan, istri (garwa ampeyan), putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih.

- Bebet Prajuritan (kain batik untuk kelengkapan busana keprajuritan), yang boleh mengenakan sama dengan ketentuan pemakaian kampuh.

- Motif Kampuh Parang Rusak Klithik hanya boleh dikenakan oleh untuk istri dan garwa ampeyan putra mahkota.

Artikel Terkait