Terjadi Penembakan di Gedung MUI: Ini Sejarah Pembentukan MUI yang Dinilai Kontroversial Karena Dituduh Alat Politik Presiden Soeharto

Afif Khoirul M

Penulis

Insiden penembakan di gedung MUI.

Intisari-online.com - Sebuah aksi penembakan kembali terjadi di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta Pusat, Selasa (2/5/23).

Aksi penembakan tersebut terjadi ketika pimpinan MUI tengah menggelar rapat rutin di Lantai 4.

Ketika rapat dimulai pada pukul 11.00 WIB, tiba-tiba seorang anggota MUI memberikan intruksi telah terjadi penembakan di lantai bawah.

Setelah dicek di lantai bawah ternyata benar memang telah terjadi aksi penembakan.

Menurut laporan, penembakan tersebut dilakukan oleh seorang warga yang diduga berasal dari Lampung.

Warga tersebut sudah dua kali mendatangi kantor MUI, dengan demikian total sudah 3 kali mendatangi kantor MUI.

Menurut ketua MUI Anwar Abbas, tersangka tersebut mengaku sebagai seorang nabi dan ingin bertemu dengan ketua MUI.

Kemudian, kedatangannya yang ketiga tersangka ingin bertemu dengan ketua MUI.

Namun, oleh resepsionis mengatakan ketua di MUI banyak ada sekitar 10 ketua.

Tersangka itu tetap medesak ingin bertemu dengan ketua MUI, sehingga resepsionis itu menuruti keinginannya.

Ia pun beranjak menuju lantai 4 yang kebetulan para peminpin tengah menggelar rapat rutin.

Baca Juga: Kantor MUI Ditembaki, Inilah 5 Sosok yang Mengaku Sebagai Nabi di Indonesia

Saat memasuki lift, resepsionis tersebut kemudian ditembak oleh tersangka.

Kemudian terjadilah aksi penembakan itu oleh tersangka tersebut.

Sementara itu, MUI sendiri merupakan organisasi yang telah lama berdiri sejak zaman Presiden Soeharto.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi masyarakat yang menaungi para ulama, pemimpin, dan intelektual Islam untuk membantu, mengarahkan, dan melindungi umat Islam di Indonesia.

MUI didirikan pada 26 Juli 1975 atau 17 Rajab 1395 Hijriah di Jakarta berdasarkan keputusan Presiden Soeharto.

Namun, sejarah pendirian MUI tidak luput dari kontroversi karena dianggap sebagai instrumen politik Soeharto untuk menguasai dan menetralisir gerakan Islam di Indonesia.

Latar Belakang Pendirian MUI

Pada awal tahun 1970-an, Indonesia menghadapi krisis ekonomi dan politik yang menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru.

Salah satu faktor yang menyebabkan krisis tersebut adalah ketergantungan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri dan bantuan ekonomi dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.

Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan kedaulatan dan identitas nasionalnya.

Di sisi lain, gerakan Islam mulai tumbuh dan menuntut peran yang lebih besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca Juga: Kantor Pusatnya Jadi Lokasi Penembakan, MUI Ternyata Pernah Diminta Dibubarkan, Ini Pemicunya

Beberapa tokoh Islam, seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, dan Abdurrahman Wahid, mengkritik pemerintah Orde Baru yang dianggap otoriter, korup, dan tidak demokratis.

Mereka juga menolak ideologi Pancasila sebagai dasar negara dan mengusulkan agar Piagam Jakarta yang mengandung kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dimasukkan kembali ke dalam Pembukaan UUD 1945.

Soeharto sebagai presiden saat itu merasa terancam oleh gerakan Islam yang semakin berkembang dan berpotensi mengguncang stabilitas politik dan keamanan nasional.

Oleh karena itu, ia mencari cara untuk mengakomodasi aspirasi umat Islam sekaligus mengontrol dan menetralisir pengaruh mereka.

Salah satu langkah yang diambil oleh Soeharto adalah mendirikan MUI sebagai lembaga resmi yang mewakili umat Islam di Indonesia.

Tujuan dan Peran MUI

Menurut Pedoman Dasar MUI tahun 2005, tujuan pendirian MUI adalah untuk meningkatkan peran umat Islam dalam pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Selain itu, MUI juga bertujuan untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, memperkuat ukhuwah Islamiyah, serta meningkatkan kualitas kehidupan beragama umat Islam.

Untuk mencapai tujuan tersebut, MUI memiliki beberapa fungsi utama, yaitu:

Memberikan fatwa atau pendapat hukum Islam tentang masalah-masalah keagamaan yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Memberikan bimbingan dan pembinaan kepada umat Islam dalam bidang aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, sosial-budaya, politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dakwah, dan lain-lain.

Mengayomi umat Islam dari segala bentuk penindasan, diskriminasi, penyelewengan ajaran Islam, serta ancaman terhadap kedaulatan negara.

Artikel Terkait