Penulis
Pakubuwono II awalnya keras terhadap VOC Belanda, tapi karena takut takhtanya sebagai raja Mataram Islam goyang, dia balik arah.
Intisari-Online.com -Pada mulanya, Pakubuwono II adalah sosok raja Mataram Islam yang getol melawan VOC.
Hal itu dibuktikan dengan keputusannya menyerang benteng kompeni yang ada di Kartasura.
Tak hanya itu, Pakubuwono II juga sempat terang-terangan mendukung pemberontakan Tionghoa yang kita kenal sebagai Geger Pecinan.
Tapi pada akhirnya, sikap itu berubah 180 derajat.
Pakubuwono II takut jika keberaniannya melawan VOC bisa mengancam kedudukannya sebagai raja Mataram Islam.
Dan sejak itulah dia balik kucing mendukung VOC.
Pakubuwono II merupakan raja Mataram yang berkuasa dari tahun 1726 hingga 1749.
Dia merupakan putra dari Amangkurat IV yang meninggal karena wabah.
Pada awal masa pemerintahannya, dia harus menghadapi pemberontakan Jawa-Tionghoa pimpinan Raden Mas Garendi alias Sunan Kuning.
Uniknya, Pakubuwono II sendiri pernah mendukung perlawanan pemberontakan Jawa-Tionghoa melawan Belanda.
Di berbalik mendukung VOC karena takut dilengeserkan dari takhtanya sebagia penguasa Mataram Islam.
Ketika masih menentang Belanda, pasukan Mataram pernah menyerangbenteng kompeni di Kartasura pada 1741.
Tercatat 10 prajurit kompeni tewas di dalam dan sekitar benteng.
Peristiwa itu menandai konflik terbuka antara Kesultanan Mataram dan VOC.
Pakubuwana II juga memerintahkan patihnya mengirim pasukan untuk membantu laskar Tionghoa mengepung VOC di Semarang.
Pemberontakan Tinghoa-Jawa atau Geger Pecinan merupakan respon masyarakat keturunan Tionghoa atas pembentaian VOC terhadap sekitar 10 ribuan orang Tionghoa di Batavia.
Kabarnya, rangkaian peperangan Geger Pecinan disebut lebih besar dibanding Perang Diponegoro dua dekade setelahnya.
Pemimpin pemberontakan dari pabrik gula di Gandaria, Batavia, adalah Souw Phan Ciang atau Khe Panjang, yang kemudian dikenal sebagai Kapitan Sepanjang.
Dia lari sampai Semarang dan bergabung dengan laskar Tionghoa pimpinan Singseh (Tan Sin Ko).
Kapitan Sepanjang dan Singseh berperang melawan VOC, mendapat bantuan pasukan dari Pakubuwana II, namun kemenangan sulit diraih, bahkan VOC mengklaim sebagai pihak yang menang.
Kemudian Pakubuwana II berubah sikap 180 derajat dari yang semula melawan kompeni menjadi memihaknya. Dukungan Mataram ke pemberontak Tionghoa dicabut pada awal 1742.
Seperti disebut di awal, perubahan sikap itu dilatar belakangi Pakubuwana II yang khawatir dilengserkan dari takhta Mataram bila terus melawan VOC.
Dalam hal ini, VOC dikenal handal menyulut intrik politik.
Di sisi lain, para bangsawan juga banyak yang mengincar kedudukan Pakubuwana II.
Sejak saat itu, perang melawan Pakubuwana II dan VOC berkobar.
Pemberontakan yang tak kunjung padam, sementara kondisi kesehatannya terus menurun, Pakubuwono II terpaksa menyerahkan kedaulatan Mataram kepada Baron von Hohendorff, ketika itu gubernur pesisir Jawa bagian timur.
Penyerahan itu tertuang dalam perjanjian yang ditandatangai pada11 Desember 1749 sebagai titik awal hilangnya kedaulatan Mataram ke tangan Belanda.
Pakubuwana II akhirnya meninggal dunia pada tanggal 20 Desember 1749, dan digantikan oleh Raden Mas Suryadi, putranya yang bergelar Pakubuwana III.
Pakubuwana III pada pemerintahannya harus dihadapkan pada kaum pemberontak yang dipelopori Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa.
Di kemudian hari pada tahun 1755, kedua belah pihak antara Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi menyepakati isi Perjanjian Giyanti.
Disusul Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 yang disepakati oleh ketiga pihak yakni Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa.