Telingaan Aruu, Tradisi Memanjangkan Telinga yang Mulai Punah di Suku Dayak

Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Tradisi telinga Aruu suku dayak.

Intisari-online.com - Salah satu ciri khas suku Dayak di Kalimantan adalah telinga panjang yang menjuntai hingga ke bahu.

Telinga panjang ini bukanlah hasil dari kelainan genetik atau operasi plastik, melainkan sebuah tradisi yang disebut telingaan aruu.

Tradisi ini dilakukan oleh beberapa sub suku Dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan dengan tujuan yang beragam, mulai dari identitas kebangsawanan, penanda umur, hingga simbol kecantikan.

Namun sayangnya, tradisi ini kini mulai ditinggalkan oleh generasi muda karena dianggap kuno dan tidak praktis.

Asal-usul dan Makna Telingaan Aruu

Tidak diketahui secara pasti kapan dan bagaimana tradisi telingaan aruu bermula.

Namun menurut beberapa sumber, tradisi ini sudah ada sejak zaman prasejarah dan berkembang seiring dengan perkembangan budaya suku Dayak.

Telingaan aruu berasal dari kata telinga dan aruu yang berarti panjang.

Tradisi ini dilakukan dengan cara menindik daun telinga bayi dan memasang pemberat berupa anting-anting tradisional dari bahan tembaga yang disebut belaong.

Belaong ini akan ditambahkan satu per satu hingga daun telinga membesar dan memanjang.

Tradisi telingaan aruu memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap sub suku Dayak yang melakukannya.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Bapukung, Cara Masyarakat Suku Dayak Menidurkan Anak-anaknya, Lain Dari Yang Lain

Misalnya, bagi suku Dayak Kayan, telingaan aruu merupakan identitas kebangsawanan yang menunjukkan status sosial seseorang.

Semakin panjang telinga seseorang, semakin tinggi pula derajatnya dalam masyarakat.

Bagi suku Dayak Benuaq dan Tunjung, telingaan aruu merupakan penanda umur seseorang.

Bayi yang baru lahir akan diberi manik-manik sebagai pemberat dan akan ditambah setiap tahunnya.

Bagi suku Dayak Iban, telingaan aruu merupakan simbol kecantikan bagi wanita.

Mereka meyakini bahwa semakin panjang telinga seorang wanita, semakin cantik pula wanita tersebut.

Proses dan Ritual Telingaan Aruu

Tradisi telingaan aruu dimulai sejak bayi dengan proses penindikan daun telinga yang disebut mucuk penikng.

Penindikan ini dilakukan oleh orang tua atau orang yang ahli dengan menggunakan jarum atau bambu tajam.

Setelah luka tindik kering, maka benang akan dipasang sebagai pengganti anting-anting.

Benang ini kemudian akan diganti dengan pintalan kayu gabus yang akan mengembang saat terkena air dan membuat lubang daun telinga semakin besar.

Baca Juga: Tradisi Larung Sesaji, Begini Cara Orang Jawa Mensyukuri Rezeki Dari Laut

Pintalan kayu gabus ini akan diganti dengan ukuran yang lebih besar setiap seminggu sekali hingga lubang daun telinga cukup besar untuk dipasangi belaong.

Belaong adalah anting-anting tradisional dari bahan tembaga berbentuk lingkaran gelang yang memiliki berat sekitar 100 gram hingga 1 kilogram.

Ada dua jenis belaong yang digunakan untuk memanjangkan daun telinga, yaitu hisang semhaa yang dipasang di sekeliling lubang daun telinga dan hisang kavaat yang dipakai pada lubang daun telinga.

Belaong ini akan ditambahkan satu per satu hingga mencapai jumlah maksimal sesuai dengan kemampuan seseorang.

Biasanya, wanita suku Dayak bisa memakai belaong hingga 10 buah di setiap telinganya.

Ancaman Punah dan Upaya Pelestarian Telingaan Aruu

Tradisi telingaan aruu kini menghadapi ancaman punah karena semakin sedikitnya orang yang mau melakukannya.

Generasi muda suku Dayak, khususnya yang lahir di era 1960-an ke atas, tidak lagi mengikuti tradisi ini karena dianggap kuno, tidak praktis, dan tidak sesuai dengan kemajuan zaman.

Mereka juga merasa malu dan minder dengan telinga panjang mereka yang berbeda dengan orang lain.

Bahkan, beberapa dari mereka memilih untuk memotong telinga panjang mereka agar terlihat normal.

Selain itu, tradisi telingaan aruu juga terkikis oleh pengaruh agama dan budaya asing yang masuk ke Kalimantan.

Baca Juga: Lomban, Tradisi Unik Syawalan di Jepara yang Meriahkan Hari Raya Nelayan dengan Hias Perahu

Beberapa suku Dayak yang menganut agama Islam atau Kristen tidak lagi melakukan tradisi ini karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama mereka.

Beberapa suku Dayak juga terpengaruh oleh budaya modern yang menawarkan standar kecantikan yang berbeda dari tradisi mereka.

Namun, masih ada sebagian orang yang berusaha melestarikan tradisi telingaan aruu sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya suku Dayak.

Mereka menganggap telinga panjang sebagai simbol kebanggaan dan kehormatan yang harus dilestarikan dan diturunkan kepada generasi berikutnya.

Mereka juga berharap agar pemerintah dan masyarakat luas dapat memberikan dukungan dan penghargaan kepada mereka yang masih menjalankan tradisi ini.

Artikel Terkait