Penulis
Intisari-online.com - Hasyim Asy’ari merupakan salah satu ulama penting dan berpengaruh di Indonesia.
Ia dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, dan juga sebagai pahlawan nasional yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, ia juga merupakan kakek dari Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, presiden keempat Indonesia.
Siapakah sosok Hasyim Asy’ari sebenarnya?
Bagaimana riwayat hidup, pendidikan, dan perjuangannya? Artikel ini akan membahas secara ringkas tentang biografi Hasyim Asy’ari.
Asal Usul dan Pendidikan
Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Gedang, Tambakrejo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Ia adalah anak ketiga dari 11 bersaudara, putra dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Ayahnya adalah seorang ulama yang mendirikan Pesantren Gedang, sedangkan ibunya berasal dari keluarga ningrat yang masih keturunan Sultan Hadiwijaya dari Pajang dan Raja Brawijaya VI dari Majapahit.
Sejak kecil, Hasyim Asy’ari sudah menunjukkan kecerdasan dan ketekunan dalam belajar agama.
Ia mengaji di Pesantren Gedang dan Pesantren Tambakberas yang didirikan oleh kakeknya.
Ia juga belajar di Pesantren Siwalan Panji yang dipimpin oleh Kiai Nawawi, seorang ulama terkemuka di Jawa Timur.
Baca Juga: Muhammadiyah dan NU Kerap Berbeda Menentukan Tanggal Idul Fitri, Mana Yang Benar?
Di sana, ia mempelajari berbagai ilmu seperti tafsir, hadis, fiqih, tasawuf, bahasa Arab, dan logika.
Pada usia 20 tahun, Hasyim Asy’ari menikah dengan Khadijah, putri Kiai Nawawi.
Setahun kemudian, mereka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di sana. Sayangnya, istrinya meninggal dunia setelah tujuh bulan tinggal di Mekkah.
Anaknya yang bernama Abdullah juga meninggal dua bulan kemudian.
Meski mengalami duka yang mendalam, Hasyim Asy’ari tetap semangat dalam menuntut ilmu.
Ia berguru kepada beberapa ulama terkenal di Mekkah seperti Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan al-Makki, Syaikh Muhammad Salih al-Samarqandi, Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Syafi’i, dan Syaikh Thahir Jalaluddin al-Baghdadi.
Ia juga mengunjungi beberapa tempat ilmiah seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Universitas Al-Azhar di Mesir, dan Universitas Zaitunah di Tunisia.
Setelah 12 tahun tinggal di tanah suci, Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air pada tahun 1903.
Ia membawa pulang banyak kitab dan ijazah dari para ulama yang menjadi gurunya.
Selain itu beliau membawa misi untuk menyebarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang moderat dan toleran.
Pendirian Pesantren Tebuireng dan Nahdlatul Ulama
Baca Juga: Jelang 1 Abad Peringatan PBNU, Ini Sejarah Berdirinya PBNU Pada Masa Penjajahan
Pada tahun 1899, sebelum berangkat ke Mekkah, Hasyim Asy’ari telah mendirikan Pesantren Tebuireng di Desa Tebuireng, Jombang.
Pesantren ini kemudian berkembang menjadi salah satu pesantren terbesar dan termodern di Jawa pada awal abad ke-20.
Pesantren ini menjadi pusat untuk mereformasi pengajaran Islam tradisional.
Pada 31 Januari 1926, bersama dengan beberapa ulama tradisional lainnya, Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan yang bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan ajaran Islam Aswaja dari pengaruh gerakan-gerakan reformis dan radikal yang berasal dari Timur Tengah.
NU juga berperan dalam memberikan pendidikan, pelayanan sosial, dan bantuan hukum bagi masyarakat Muslim.
Perjuangan untuk Kemerdekaan Indonesia
Hasyim Asy’ari tidak hanya bergerak di bidang keagamaan, tetapi juga di bidang politik dan sosial. Ia adalah salah satu tokoh yang mendukung Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dan menentang penjajahan Belanda.
Ia juga menulis risalah berjudul Al-Lubab fi Bayani al-Ahkam al-Syar’iyyah ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i yang berisi tentang hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Selama pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari sempat ditangkap karena menolak untuk bekerja sama dengan pemerintah Jepang.
Namun, ia kemudian dibebaskan dan diangkat menjadi Kepala Urusan Agama.
Ia juga terlibat dalam pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Ia juga mendukung Piagam Jakarta yang mengandung sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Hasyim Asy’ari meninggal dunia pada 25 Juli 1947 akibat hipertensi, setelah mendengar kabar bahwa pasukan Belanda sedang menguasai Malang.
Ia dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Ia dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 1972 oleh Presiden Soeharto.
Hubungan dengan Gus Dur
Hasyim Asy’ari adalah kakek dari Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, presiden keempat Indonesia. Gus Dur adalah putra dari Wahid Hasyim, salah satu anak Hasyim Asy’ari yang juga menjadi Menteri Agama dan salah satu perumus Piagam Jakarta.
Gus Dur mengaku banyak terinspirasi oleh pemikiran dan perjuangan kakeknya dalam bidang keagamaan, politik, dan sosial.
Gus Dur juga meneruskan kepemimpinan NU sebagai ketua umum pada tahun 1984-1999.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai