Penulis
Intisari-online.com - Kapal Weltevreden adalah sebuah kapal yang berlayar dari Pelabuhan Rotterdam, Belanda, ke Jakarta, Indonesia, pada 6 Desember 1946.
Kapal ini membawa lebih dari 2.000 penumpang, termasuk tentara Belanda, mantan mahasiswa Indonesia, dan warga sipil Belanda.
Namun, di antara para penumpang tersebut, ada sekelompok orang yang memiliki niat dan tujuan yang berbeda dari yang lain.
Mereka adalah para perempuan Belanda yang memilih untuk membela Indonesia dan menentang penjajahan Belanda.
Salah satu dari mereka adalah Rieke van der Weyden, seorang perawat yang bekerja di rumah sakit militer Belanda di Jakarta.
Ia jatuh cinta dengan seorang dokter Indonesia bernama Soetomo dan memutuskan untuk bergabung dengan gerakan perlawanan Indonesia.
Rieke tidak sendirian. Ada juga Liesbeth van der Woude, seorang guru bahasa Inggris yang menikah dengan seorang aktivis Indonesia bernama Sutan Sjahrir.
Liesbeth ikut suaminya ke Yogyakarta dan menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia.
Selain itu, ada pula Mieke Bouman, seorang ahli matematika yang bekerja di Universitas Leiden.
Ia bertemu dengan seorang mahasiswa Indonesia bernama Mohammad Hatta dan terpesona oleh pemikiran dan idealismenya. Mieke kemudian menjadi penasihat dan sekretaris pribadi Hatta.
Terakhir, ada Anneke van der Feen, seorang wartawan yang meliput peristiwa-peristiwa di Indonesia.
Baca Juga: Kisah Kapitan Pattimura, Panglima Perang Maluku yang Menyatukan Kerajaan Nusantara Melawan VOC
Ia bersimpati dengan perjuangan rakyat Indonesia dan menulis artikel-artikel yang mengkritik kebijakan Belanda.
Anneke juga menjalin hubungan dengan seorang pemimpin gerilya Indonesia bernama Sudirman.
Keempat perempuan ini memiliki latar belakang dan motivasi yang beragam, tetapi mereka memiliki satu kesamaan:
Mereka memilih untuk mengorbankan kenyamanan dan keselamatan mereka demi mendukung kemerdekaan Indonesia.
Mereka juga menghadapi berbagai tantangan dan risiko, seperti diskriminasi, pengkhianatan, penangkapan, penyiksaan, dan bahkan kematian.
Namun, mereka tidak menyerah dan tetap setia pada pilihan mereka.
Kisah para penumpang Kapal Weltevreden yang memilih Indonesia sebagai tanah air adalah kisah yang menginspirasi dan menyentuh hati.
Mereka adalah contoh dari semangat persahabatan dan persatuan antara dua bangsa yang berbeda.
Kisah para penumpang Kapal Weltevreden yang memilih Indonesia sebagai tanah air tidak hanya berakhir pada tahun 1946.
Mereka terus berkontribusi dan berpartisipasi dalam perjalanan sejarah Indonesia hingga tahun-tahun berikutnya.
Rieke van der Weyden, misalnya, tetap bekerja sebagai perawat di rumah sakit militer Indonesia hingga tahun 1950.
Ia juga membantu mendirikan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan menjadi anggota aktifnya.
Liesbeth van der Woude juga terus mendampingi suaminya, Sutan Sjahrir, yang menjadi perdana menteri pertama Indonesia.
Ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan, seperti membantu pengungsi dan korban perang.
Mieke Bouman juga tidak meninggalkan Mohammad Hatta, yang menjadi wakil presiden pertama Indonesia.
Kemudian, menjadi saksi mata dari berbagai peristiwa penting, seperti Konferensi Meja Bundar dan Deklarasi Djuanda.
Anneke van der Feen juga melanjutkan karirnya sebagai wartawan dan menulis buku-buku tentang Indonesia.
Dia juga menjaga hubungannya dengan Sudirman, yang menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia.
Keempat perempuan ini tidak hanya menjadi bagian dari sejarah Indonesia, tetapi juga menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.
Mereka belajar bahasa, budaya, dan adat istiadat Indonesia dan menghormati nilai-nilai dan tradisi Indonesia.
Mereka juga mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari pemerintah dan rakyat Indonesia.
Kemudian diberi kewarganegaraan Indonesia dan mendapatkan gelar kehormatan seperti Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra.