Penulis
Intisari-online.com - Idul Fitri adalah hari raya yang dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia setelah menyelesaikan puasa Ramadhan.
Idul Fitri memiliki makna sebagai hari kemenangan bagi orang-orang yang berhasil menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesabaran dan ketakwaan.
Namun, tahukah Anda bahwa Idul Fitri juga memiliki kaitan dengan sejarah penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di pulau Jawa?
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana para wali yang dikenal sebagai Walisongo mengislamkan perayaan hari raya di Nusantara dengan mengadaptasi tradisi lokal dan memberikan makna baru bagi Idul Fitri.
Walisongo adalah sembilan wali atau wakil Allah SWT yang berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-14 hingga ke-16 Masehi.
Mereka adalah Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Kalijaga.
Salah satu strategi dakwah Walisongo adalah menggunakan pendekatan budaya dan seni untuk menarik minat masyarakat Jawa yang sebagian besar masih beragama Hindu-Budha.
Mereka tidak hanya mengajarkan ajaran Islam secara langsung, tetapi juga menyelipkannya dalam berbagai bentuk kesenian dan kebudayaan lokal, seperti wayang, gamelan, tari-tarian, syair-syair, dan lain-lain.
Mereka juga menghormati dan menghargai tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya, asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Salah satu tradisi yang diadaptasi oleh Walisongo adalah upasa atau puasa.
Upasa adalah sebuah ritual yang dilakukan oleh orang Jawa sebelum masuk Islam untuk menyucikan diri dari segala kotoran batin dan lahir.
Baca Juga: Dibangun 1401 Masehi Inilah Masjid Tertua di Pulau Jawa, Salah Satu Tempat Bersejarah di Indonesia
Upasa biasanya dilakukan dengan cara menyepi di tempat yang angker atau wingit selama beberapa hari atau bulan dengan hanya mengonsumsi air putih dan makanan sederhana.
Upasa juga dilakukan sebagai persiapan untuk melakukan ritual-ritual penting dalam kehidupan orang Jawa, seperti perkawinan, kelahiran anak, atau kematian.
Walisongo kemudian mengenalkan konsep puasa dalam Islam yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Namun, puasa dalam Islam tidak harus dilakukan di tempat yang angker atau wingit, melainkan di mana saja selama menghindari hal-hal yang membatalkannya.
Puasa dalam Islam juga tidak hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja, melainkan secara rutin setiap tahun selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan.
Selain itu, Walisongo juga mengenalkan konsep Idul Fitri sebagai hari raya yang dirayakan setelah menyelesaikan puasa Ramadhan.
Idul Fitri memiliki makna sebagai hari kemenangan bagi orang-orang yang berhasil menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesabaran dan ketakwaan.
Kemudian, Idul Fitri juga memiliki makna sebagai hari pengampunan dan permohonan maaf antara sesama manusia.
Idul Fitri juga memiliki makna sebagai hari bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya.
Walisongo tidak menghapus tradisi-tradisi lokal yang sudah ada sebelumnya dalam merayakan hari raya.
Mereka justru memolesnya dengan nilai-nilai Islam yang lebih universal dan humanis.
Misalnya, mereka mengganti ritual-ritual Hindu-Budha dengan shalat Idul Fitri dan khutbah yang berisipesan-pesan moral dan keagamaan.
Mereka juga mengajak masyarakat untuk saling bermaaf-maafan dan bersilaturahmi dengan keluarga, tetangga, dan saudara-saudara seiman.
Mereka juga mengajarkan untuk berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan, seperti fakir miskin, yatim piatu, dan dhuafa.
Walisongo juga menghidupkan suasana hari raya dengan berbagai kesenian dan hiburan yang Islami, seperti rebana, shalawat, syair-syair, dan lain-lain.
Dengan demikian, Walisongo berhasil mengislamkan perayaan hari raya di Nusantara dengan cara yang bijak dan cerdas. Mereka tidak menolak atau menghapus tradisi-tradisi lokal yang sudah ada sebelumnya, melainkan mengubahnya menjadi lebih sesuai dengan ajaran Islam.
Mereka juga tidak memaksakan atau menekan masyarakat untuk menerima Islam, melainkan menarik mereka dengan cara yang halus dan menyenangkan.
Para Wali juga tidak mengabaikan atau meremehkan budaya dan seni lokal, melainkan memanfaatkannya sebagai media dakwah yang efektif dan menarik.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai