Penulis
Intisari-Online.com -Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti, sekarang Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.
Perjanjian ini secara resmi membagi kekuasaan Mataram kepada Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.
Banyak yang menganggap bahwa perjanjian ini merupakan salah satu bukti nyata ampuhnya strategi devide et impera (memecah belah) yang diterapkan oleh VOC untuk meruntuhkan kesultanan Islam di Jawa.
Latar Belakang Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti merupakan hasil dari Perang Takhta Jawa Ketiga yang terjadi pada tahun 1749-1757.
Perang ini dipicu oleh kematian Pakubuwana II, susuhunan Mataram, yang tidak menentukan penerusnya secara jelas.
Pakubuwana II sebelumnya telah menyerahkan pantai utara Jawa dan Madura kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC untuk mengatasi pemberontakan Tionghoa pada tahun 1743.
Pakubuwana III didukung oleh VOC menggantikan takhta Mataram, tetapi ia harus menghadapi saingan dari dua pihak lainnya, yaitu Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi.
Kedua pangeran ini adalah adik Pakubuwana II yang tidak puas dengan kedudukan mereka.
Pangeran Sambernyawa adalah putra sulung Pakubuwana II dari selirnya. Ia pernah menduduki daerah Sukawati (sekarang Sragen) dan menentang kekuasaan ayahnya.
Baca Juga: Terang Sejak Dulu, Ternyata Listrik Sudah Masuk Solo Sejak Awal Abad 20, 2 Trah Mataram Punya Peran
Ia juga mendapat dukungan dari rakyat dan para ulama yang tidak menyukai kebijakan Pakubuwana II yang pro-VOC.
Pangeran Mangkubumi adalah putra bungsu Pakubuwana II dari permaisurinya. Ia memiliki kedudukan tinggi di istana sebagai adipati Anom dan panglima perang.
Ia awalnya mendukung Pakubuwana III, tetapi kemudian berbalik menentangnya karena merasa tidak dihargai. Ia bergabung dengan Pangeran Sambernyawa untuk melawan Pakubuwana III dan VOC.
VOC mengirim pasukan untuk membantu Pakubuwana III, tetapi pemberontakan terus berlanjut. Baru pada tahun 1755, Pangeran Mangkubumi melepaskan diri dari Pangeran Sambernyawa dan menerima tawaran perdamaian dari VOC di Giyanti.
Ia melakukannya karena merasa tidak sejalan dengan Pangeran Sambernyawa yang lebih radikal dan ingin menghapuskan kekuasaan VOC sama sekali. Ia juga ingin mengakhiri perang yang telah menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan.
Isi Pokok Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti terdiri dari 12 pasal yang mengatur pembagian wilayah dan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat. Isi pokok perjanjian ini adalah sebagai berikut:
- Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I dengan hak turun temurun kepada pewarisnya. Ia mendapatkan separuh wilayah Mataram sebelah barat sungai Opak, dengan ibu kota di Yogyakarta.
- Pakubuwana III tetap menjadi Susuhunan Mataram dengan hak turun temurun kepada pewarisnya. Ia mendapatkan separuh wilayah Mataram sebelah timur sungai Opak, dengan ibu kota di Surakarta.
- VOC berhak menentukan siapa yang akan menguasai kedua kerajaan tersebut jika terjadi perselisihan atau pergantian takhta.
- VOC berhak menguasai pantai utara Jawa dan Madura, serta memungut pajak dari perdagangan di sana.
Baca Juga: Mitos Nyi Roro Kidul Konon Pernah Bantu Mataram Melawan Belanda Dengan Pasukan Lautnya
- VOC berhak membangun benteng dan pos-pos dagang di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
- VOC berhak mengirim pasukan untuk membantu kedua kerajaan jika terjadi ancaman dari luar atau dalam negeri.
- Kedua kerajaan harus menjalin hubungan baik dan saling membantu satu sama lain.
- Kedua kerajaan harus menghormati dan melindungi rakyat dan ulama yang ada di wilayah mereka.
- Kedua kerajaan harus menghentikan permusuhan dan permintaan maaf kepada VOC atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh perang.
- Kedua kerajaan harus menyerahkan para pemberontak dan musuh VOC yang berada di wilayah mereka.
- Kedua kerajaan harus menyerahkan senjata-senjata yang mereka peroleh dari musuh VOC selama perang.
- Kedua kerajaan harus mengikuti segala perintah dan kebijakan VOC yang berkaitan dengan perdagangan dan keamanan.
Dampak Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti memiliki dampak yang signifikan bagi sejarah Jawa dan Indonesia. Dampak-dampak tersebut antara lain adalah :
- Perpecahan Kerajaan Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Perpecahan ini kemudian berlanjut dengan terbentuknya dua kerajaan lagi, yaitu Mangkunegaran dan Pakualaman, melalui Perjanjian Salatiga (1757) dan Perjanjian Giyanti Kedua (1813).
- Melemahnya kekuatan politik dan militer kesultanan Islam di Jawa.
Kedua kerajaan yang baru terbentuk harus tunduk kepada VOC dan tidak bisa melakukan perlawanan secara terbuka. Mereka juga harus bersaing satu sama lain untuk mendapatkan dukungan dari VOC.
- Menguatnya pengaruh VOC di Jawa. VOC berhasil memecah belah kesatuan Jawa dan menguasai sumber-sumber ekonomi yang penting, seperti pantai utara Jawa dan Madura. VOC juga berhasil menyingkirkan para pemberontak dan musuh-musuhnya yang mengancam kepentingannya.
- Munculnya perlawanan-perlawanan rakyat dan ulama terhadap VOC.
Banyak rakyat dan ulama yang tidak puas dengan perjanjian Giyanti karena merasa kehilangan kedaulatan dan kemerdekaan mereka. Mereka melakukan perlawanan-perlawanan sporadis maupun terorganisir terhadap VOC, seperti Pemberontakan Raden Mas Said (1746-1757), Pemberontakan Kyai Mojo (1812), Pemberontakan Diponegoro (1825-1830), dan lain-lain.
- Berkembangnya budaya dan seni Jawa.
Kedua kerajaan yang baru terbentuk memiliki karakteristik budaya dan seni yang berbeda-beda. Surakarta cenderung lebih konservatif dan menjaga tradisi Mataram lama, sedangkan Yogyakarta cenderung lebih inovatif dan menciptakan tradisi baru. Mereka juga saling bersaing dalam mengembangkan budaya dan seni Jawa, seperti wayang, gamelan, tari, batik, keris, dan lain-lain.
Baca Juga: Raden Ayu Matah Ati, Lembut Di Istana Garang Di Medan Pertempuran