Find Us On Social Media :

Sosrokartono, Sosok Hindia Belanda Pertama yang Menguasai 26 bahasa!

By Andreas Chris Febrianto Nugroho, Sabtu, 22 April 2023 | 15:15 WIB

Sosrokartono mendapatkan gelar sarjana dari University Leiden dan menjadi wartawan perang dunia I

Intisari Online - Meski namanya tak sementereng sang adik, R.A. Kartini, Sosrokartono bukanlah orang yang bisa disepelekan dengan segudang prestasi yang ia buat.

Sebagai contohnya, sosok bernama lengkap Raden Mas Panji Sosrokartono tersebut menjadi orang asal Jawa (sebelum Indonesia) pertama yang menjadi wartawan internasional.

Bahkan Sosrokartono juga menjadi salah satu orang yang dipercaya oleh pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler untuk menyaksikan keruntuhan fasisme terhebat pada era Perang Dunia I.

Sosrokartono sendiri merupakan anak keempat dari Bupati Jepara, Raden Mas Ario Samingun Sosroningrat dari istri keduanya, Ngasirah dan merupakan kakak kandung R.A. Kartini.

Kartono, sapaannya, lahir di Pelemkerep, Mayong, pada 10 April 1877, atau dua tahun lebih tua dari R.A. Kartini.

Sebagai anak bangsawan Jawa kala itu, Sosrokartono mendapatkan pendidikan yang cukup memadai dari studi di Europeesche Lagere School (ELS) di Jepara, Hogere Burger School (HBS) Semarang, hingga Sekolah Teknik Tinggi di Delft.

Namun saat menempuh pendidikan teknik, Sosrokartono mulai terbuka dengan masa depannya, dan memilih untuk pindah jurusan bahasa dan kesusastraan timur di Universitas Leiden.

Dalam buku yang ditulis oleh Harry A. Poeze 'Di Negeri Penjajah', Sosrokartono menjadi generasi pertama orang Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan di Belanda.

Beruntungnya, Sosrokartono bertemu oleh guru besarnya JHC Kern yang membuat pemuda pribumi tersebut mulai dikenal di kalangan terpelajar Eropa kala itu.

Bahkan Sosrokartono pernah diundang menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia pada Agustus 1899.

Baca Juga: Innalillah, Istri Moeldoko Koesni Harningsih Meninggal Dunia, Akan Dimakamkan Di Taman Makam Pahlawan Bahagia Ciledug

Membawakan pidato bertajuk 'Het Nederlandsch in Indie', Sosrokartono seperti menyihir semua tamu undangan yang datang ke pertemuan tersebut.

Pemuda pribumi itupun mendapat sambutan dan aplause dari seluruh tamu undangan yang hadir di akhir pidatonya.

Ia pun menjadi orang Hindia Belanda pertama yang tampil di depan dunia internasional kala itu hingga membuat Sosrokartono semakin dikenal oleh banyak orang.

Lulus dan mendapat gelar sarjana pada bulan Maret 1908, tak membuat Sosrokartono puas dan ingin melanjutkan studinya.

Meski demikian, Sosrokartono disebut-sebut gagal mendapatkan gelar profesor.

Kegagalan Sosrokartono menjadi profesor pertama dari Hindia Belanda kala itu disebut-sebut karena ulah Snouck Hurgronje,

Menjadi generasi pertama orang Hindia Belanda yang mampu menempuh pendidikan tinggi di Eropa, Sosrokartono juga menginisiasi terbentuknya Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada tahun 1908.

Tahun-tahunnya di Eropa digunakan oleh Sosrokartono untuk mempelajari banyak bahasa seperti yang ditulis oleh W. Otterspeer dalam buku berjudul 'Leiden Oriental Connection 1850-1940'.

Kakak R.A. Kartini itu disebut-sebut mampu menguasai 9 bahasa timur dan 17 bahasa barat pada waktu tersebut seperti yang diungkap oleh Bung Hatta yang mengatakan bahwa seniornya itu juga mampu berbahasa Yunani (Grik) serta bahasa Latin.

Meletusnya Perang Dunia I (PD I) membuat Sosrokartono kemudian berprofesi sebagai wartawan di The New York Herald Tribune dan menulis dalam 4 bahasa, Inggris, Spanyol, Rusia dan Perancis.

Bisa dikatakan bahwa Sosrokartono adalah orang Indonesia pertama yang menjadi wartawan.

Lewat buku 'R.M.P Sosrokartono: Sebuah Biografi', Solichin Salam menulis bahwa pria asal Jepara itu sampai mendapat pangkat mayor yang diberikan oleh Panglima perang Amerika Serikat (AS) karena profesinya sebagai wartawan perang kala itu.

Sebagai informasi, gaji wartawan perang kala itu mencapai 1.250 dollar, dengan kata lain Sosrokartono bisa jadi seorang miliuner di Eropa dengan upah sedemikian banyak.

Baca Juga: Ajaran Pokok Syekh Yusuf, Ulama Indonesia yang Jadi Pahlawan Nasional

Nama Sosrokartono makin dikenal kala menjadi wartawan yang mampu meliput perundingan gencatan senjata antara Sekutu dengan Nazi Jerman.

Sebagai perundingan tingkat tinggi, kala itu perjanjian gencatan senjata yang dilakukan oleh dua kekuatan militer besar di dunia tersebut sampai harus dirahasiakan.

Tetapi Sosrokartono mampu menembus kerahasiaan tersebut hingga menjadi salah satu orang yang meliput peristiwa penting di Eropa kala itu.

Namun sayang sekali, hasil liputan yang dilakukan oleh Sosrokartono mengenai perundingan tersebut sampai sekarang sangat susah ditemukan.

Sepak terjang Sosrokartono cukup dikenal oleh dunia internasional hingga membuatnya ditarik sebagai penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa (sebelum PBB) usai tak lagi menjadi wartawan.

Setidaknya jabatan penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa itu diemban oleh Sosrokartono dari tahun 1919-1921 sebelum ia memutuskan untuk kembali ke Tanah Air.

Sekembalinya ke Hindia Belanda, kehebatan Sosrokartono di Eropa tak membuatnya mudah mencari pekerjaan saat awal menginjakkan kaki di Jawa.

Sosrokartono pernah mendapat tawaran untuk bekerja di museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscappen tapi ditolak dengan alasan ingin rehat sejenak dari rutinitas.

Sampai akhirny Sosrokartono memilih bergabung dengan Ki Hajar Dewantoro untuk menjadi pengajar di taman siswa Darusalam Bandung.

Sekeluar dari situ Sosrokartono memilih menjadi mantri kesehatan, perlu diketahui Sosrokartono sejak usia 3 tahun memiliki kemampuan supernatural bahkan pernah menyembuhkan keluarga temannya saat di Eropa hanya dengan menempelkan tangannya ke dahi orang tersebut.

Baca Juga: Alasan Ulama Indonesia Syekh Yusuf Menjadi Pahlawan di Negara Lain

Agaknya Sosrokartono memilih untuk tetap sendiri sampai akhir hayatnya karena tidak menikah ataupun mengangkat anak.

Raden Mas Panji Sosrokartono akhirnya mangkat pada 8 februari 1952 disemayamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus.

"Sugih tanpa bandha / digdaya tanpa aji / nglurug tanpa bala / menang tan ngasorake", adalah kalimat terakhir yang tersemat di nisannya.

(*)