Penulis
Intisari-Online.com -Bangsa Belanda datang ke kepulauan Indonesia pada akhir abad ke-16.
Tujuan mereka yaitu mengambil rempah-rempah seperti cengkeh, bunga pala, dan merica yang digunakan untuk mengawetkan daging pada musim dingin.
Untuk melancarkan aksi mereka, Belanda mendirikan sebuah kongsi perdagangan yang bernama VOC pada tahun 1619.
VOC memperkerjakan pegawai sipil, militer, saudagar, pendeta, dan sukarelawan.
Mayoritas dari mereka berkulit putih dan berstatus bujangan.
Rata-rata sifat mereka sangatlah buruk, yaitu pemabuk, suka gaduh.
Mereka sering mengadakan hubungan cinta dengan perempuan Asia yang berstatus hamba sahaya.
Masa pergundikan bagi para lelaki Eropa dirasa sebagai solusi untuk menahandari minuman keras, menjauhkan diri dari pelacur, dan menjaga pola pengeluaran uangagar tetap dalam batasnya.
Hal ini karena para gundik ini tidak mengikat diri dan dirasa menyenangkan bagi para lelaki Eropa.
Namun sungguh naas nasib kaum para gundik ini jika memiliki anak dari hasil dari hubungan ini.
Baca Juga: Kisah Nyai Paina: Menularkan Penyakir Cacar ke Kolonial Belanda
Anaknya akan diambil dan para gundik ini akan ditendang ke luar rumah bak ‘habis manissepah dibuang’.
Diketahui umum bahwa sistem ini di mata rakyat dipandang hina dan seorang gundik betapa baiknya taraf kehidupan materialnya.
Para gundik hanya menghadapi cemooh, cerca dan celaan dari bangsanya sendiri.
Anak-anak yang dilahirkannya memperoleh status ayahnya dan lazimnya juga bersikap kurang hormat terhadap ibunya.
Alhasil banyak nasib para gundik ini menjadi gila, bunuh diri, dan hidup tak karuan.
Sementara itu, kehidupan antara serdadu dengan perempuan-perempuan yang tinggal dalam tangsi digambarkan Mantan Perwira KNIL, S.E.W. Roorda van Eysinga dengan sangat memprihatikan.
Hubungan badan di dalam barak militer selayaknya hewan.
Mereka melakukan hubungan dalam barak militer tanpa sekat-sekat yang menutup di setiap tempat tidur.
Berbeda dengan serdadu yang berasal dari luar Hindia Belanda, serdadu pribumi yang masuk dalam tentara kolonial biasanya sudah menikah.
Mereka biasanya juga menjadi kepala keluarga di usia muda.
Hal ini terjadi karena kebiasaan perjodohan di kalangan orang Jawa.
Baca Juga: Kisah Nyai Djelema, Seorang Ibu yang Terasing bagi Anak-anak Blasterannya
Mereka pun yang telah menjadi tentara kolonial tidak serta merta melepaskan kehidupan sosial dan seksual mereka.
Mereka oleh pemimpin KNIL, Jenderal Haga, diizinkan untuk melanjutkan hubungan di dalam tangsi.
Sedangkan para serdadu pribumi maupun Eropa yang lajang diizinkan hidup bersama tanpa pernikahan dengan perempuan pribumi di dalam tangsi.
Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kecemburuan dan kemarahan tentara kolonial yang masih lajang.
Baca Juga: Nasib Selir Kaisar China Jika Sang Raja 'Mangkat', Dikubur Bersama?
(*)