Find Us On Social Media :

Panggil Mereka 'Mina' Saja, Bagaimana Para Gundik Serdadu Kolonial Bisa Bernama Sama?

By Muflika Nur Fuaddah, Jumat, 18 November 2022 | 11:00 WIB

Potret seorang gundik atau Nyai di antara para serdadu militer Hindia Belanda.

Intisari-Online.com - Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17, gundik sudah menjadi semacam kebutuhan.

Persoalan pergundikan memang bukan sesuatu yang baru. 

Namun baru pada pemerintahan J.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.

Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Permintaannya itu ditolak sehingga praktik pergundikan yang mayoritas diisi oleh wanita pribumi semakin merajalela.

Adapun alasan penolakan itu ada beberapa hal, termasuk dikarenakan pasangan keluarga yang datang ke Hindia dikhawatirkan hanya akan bertujuan memperkaya diri.

Memang saat itu Hindia terkenal sebagai tempat pelarian pengusaha yang mengalami kebangkrutan di Eropa.

Pasangan yang telah mendapat keuntungan banyak kemudian lari ke Belanda.

Pada titik ini Hereen XVII merasa sumber-sumber perekonomiannya terancam.

Sejalan dengan itu pengiriman wanita lajang ke Hindia juga membutuhkan biaya besar.

Biaya ini tidak sebanding dengan keuntungan yang bakal diperoleh.

Baca Juga: Kisah Pria Tukang Koleksi Gundik Cantik dari Berbagai Macam Etnik

Selain itu kekhawatiran pasangan Eropa yang menikah tidak lagi mengabdi pada perusahaan juga terus dijadikan alasan.

Mereka yang telah menikah akan memperkaya diri sendiri, sedang kehidupan mereka ditanggung oleh perusahaan.

Sejak 1635, dewan komisaris mengubah taktik dan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis.

Mereka mulai menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia.

Peraturan kala itu, seorang pria yang menikah dengan perempuan hitam pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda.

Peraturan itu membuat banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai sehingga, kapan saja ia memutuskan kembali ke Belanda.

Kemudian ia bisa membebaskan diri dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan.

Kebiasaan bangsa Eropa yang hanya memanggil dengan nama kelompok, bukan dengan nama depan ternyata juga berimbas kepada nyai.

Dalam dunia sipil para nyai sering dipanggil dengan nama Mina.

Sehingga anak-anak yang dilahirkan dari hubungan pernyaian kebanyakan tidakmengetahui nama asli ibu mereka.

Anak-anak ini mengetahui setelah dewasa dan membaca akta pengakuan dari ayah mereka.

Baca Juga: Gundik Firaun yang Mengaku Tuhan Ini Lebih dari 200 Perempuan, Berapa Banyak Anaknya?

Hal ini diperkuat dengan beberapa sumber yang ditemukan berupa conduitstaten dan stamboek yang tidak menyebutkan nama terang dari nyai itu sendiri, hanya akan tertulis sebagai Mina atau Inlandesch Vrouwen.

Sedangkan dalam masyarakat Batavia penyebutan seseorang perempuan yang hidup dalam pergundikan dengan laki-laki Eropa atau China akan jelas terlihat seperti dengan julukandalam bahasa melayu rendah yaitu bini piaraan atau istri piaraan.

Baca Juga: Pergundikan: Pegawai Kompeni Girang Kantornya Gagal Sediakan 'Perawan yang Sudah Mateng Kawin'

(*)