Find Us On Social Media :

Gundik Pribumi Digambarkan sebagai Wanita yang Pakai Guna-guna

By Muflika Nur Fuaddah, Senin, 24 Oktober 2022 | 17:34 WIB

Potret seorang gundik atau Nyai di antara para serdadu militer Hindia Belanda.

Intisari-Online.com - Tujuan memiliki gundik atau selir yakni untuk meningkatkan prestise pria, salah satunya melalui kemampuannya untuk menghasilkan anak.

Namun bagi para serdadu kolonial, praktik pergundikan muncul lantaran kebutuhan biologis dan tidak tersedianya wanita eropa.

Para gundik ini kemudian disebut nyai  yang artinya ”perempuan simpanan” orang asing, khususnya orang Eropa.

Sebutan ini, menurut anggapan orang Eropa pada masa itu, setara dengan concubine, bijwijf, atau selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara. 

Nyai pada masa kolonial kerap disandingkan dengan urusan dapur dan kasur yang berfungsi sebagai 'teman' bagi para pria Eropa kesepian. 

JP Coen pun harus menghadapi keharusan menyediakan, "perawan-perawan Belanda yang sudah mateng kawin."

Perawan-perawan itu tak lain adalah untuk karyawan JP Coen di Timur, termasuk Batavia.

Namun, pada kenyataannya noni-noni Belanda itu gampang merana berada di daerah tropis.

Sejak 1635, dewan komisaris mengubah taktik dan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia.

Peraturan kala itu, seorang pria yang menikah dengan perempuan hitam pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda.

Peraturan itu membuat banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai.

Maya Sutedja-Liem dalam tulisannya berjudul Menghapus Citra Buruk Njai dalam Karya-Karya Fiksi Berbahasa Melayu (1896-1927), publikasi 2008, menceritakan kisah-kisah para nyai dalam bingkai kolonial Belanda.

Ia juga menyinggung tentang karya-karya sastra Belanda yang kerap mendiskriminasi figur nyai.

"Umumnya dalam sastra kolonial Hindia-Belanda (tentang) nyai, yang ditampilkan berulang-ulang, sering digambarkan sebagai wanita yang tidak setia, yang mengincar harta sang pria, dan yang suka balas dendam terhadap 'majikannya' dengan menggunakan guna-guna, sehingga terbentuk sebuah gambaran stereotipe yang negatif dari nyai" tulisnya.

Pada tahun 1990, Henk M.J Maier menerbitkan tulisannya berjudul Some Genealogical Remarks On The Emergence of Modern Malay Literature, menjelaskan citra negatif yang dilahirkan dari perspektif kompeni, yang kemudian ditafsirkan negatif oleh masyarakat luas.

"Dalam novel-novel karya sastra kolonial, nyai dipergunakan sebagai lambang degenerasi, lambang peruntuhan masyarakat kolonial" tulisnya.

Nyai dianggap tidak beradab dan kerap kali mengalami diskriminasi rasial, dengan anggapan keturunan dari hasil hubungan dengan nyai menghasilkan degenerasi, atau runtuhnya keturunan bangsa Eropa yang luhur.

Pada era VOC berkuasa sejak tahun 1652, hanya para petinggi, pejabat, dan saudagar VOC penting yang diperbolehkan membawa istri ke Hindia-Belanda.

Pembatasan kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dengan dalih bahwa keberadaan para wanita Belanda di Hindia-Belanda akan semakin menyulitkan kondisi keuangan dan perekonomian para pegawai Belanda.

Kebijakan tersebut berdampak pada dimulainya era nyai di Hindia-Belanda, dimana para pegawai Belanda dapat memilih wanita Jawa untuk dijadikan gundik, sebagai pelayannya di rumah. 

Baca Juga: 'Melayani Nafsu Layaknya Wanita Murahan,' Begini Sekelumit Kehidupan Para Gundik di Era Kolonial Belanda, Ada yang Penuh Kerja Berat

(*)