Perempuan Adalah 'Kunci Sukses' VOC, Sementara Praktik Pergundikan Marak Terjadi pada Era Kolonial Belanda, JP Coen Menekankan 'Kebutuhan Orang Dewasa' Ini Demi 'Kekuasaan' di Hindia Timur

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Potret seorang gundik atau Nyai di antara para serdadu militer Hindia Belanda.

Intisari-Online.com -Praktik pergundikan atau memiliki selir sudah terjadi di peradaban Yunani kuno dan Romawi.

Di Tiongkok kuno, pergundikan adalah praktik kompleks.

Di peradaban tersebut para selir diberi peringkat sesuai dengan tingkat kaisar dengan mereka.

Praktik pergundikan juga terjadi di era kolonial Hindia Belanda.

Tak hanya pergundikan, masalah asusila lain seperti prostitusi di Jakarta bahkan hampir sama tuanya dengan usia kota itu sendiri.

Rumah-rumah bordil yang pertama mungkin yang pernah berdiri di bagian luar di luar tembok benteng VOC di daerah Pasar Ikan.

Bisnis panas ini sudah ada dan berkembang setidaknya sejak masa awal Belanda berkuasa pada abad ke-17 dan 18.

Dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim China, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (1988), sejarawan Belanda, Leonard Blusse, mengatakan, rumah-rumah bordil itu biasa didatangi serdadu-serdadu yang ingin berpelesiran dengan perempuan-perempuan penghuninya.

Hal ini dilakukan karena serdadu kompeni dilarang membawa perempuan ke dalam barak-barak mereka.

Pelacuran tumbuh subur di Batavia Lama, antara lain, karena kurangnya jumlah perempuan Eropa yang boleh dikawini laki-laki Belanda.

Apakah itu para pegawai dan serdadu VOC maupun mereka yang berasal dari golongan burgher, yakni pegawai VOC yang sudah keluar dari perusahaan dagang dan menjadi pengusaha mandiri.

Untuk mengatasi krisis perempuan di kota yang baru ia dirikan pada 1619, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) sempat meminta para petinggi VOC di Belanda untuk mengirimkan ke Batavia ratusan anak perempuan berumur 10-12 tahun.

Rencananya yang akan diambil adalah gadis-gadis yang berasal dari berbagai rumah yatim piatu di Belanda.

Mereka akan dititipkan pada keluarga-keluarga dan dididik di sekolah-sekolah yang dibiayai kompeni, sebelum dikawinkan saat mereka sudah mencapai usia cukup dewasa.

JP Coen berpendapat, ketersediaan perempuan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi VOC jika ingin sukses berdagang di Hindia Timur.

"Jika perempuan tersedia, pasar-pasar perdagangan Hindia akan menjadi milik Anda," demikian tulis Coen dalam suratnya kepada Heeren XVII (Tuan Tujuh Belas), dewan komisaris VOC.

Sayang, usul pengiriman para calon istri dari Eropa untuk ikut mengisi koloni Belanda di Batavia tak disetujui.

Masalah susila lain yang dihadapi JP Coen adalah pergundikan, yang juga marak di Batavia.

Hampir semua pejabat VOC bawahannya punya gundik yang disebut nyai.

Para pejabat dari Belanda terbiasa mengambil selir wanita di Nusantara yang kemudian disebut sebagai nyai.

Awalnya, yang favorit dijadikan gundik adalah perempuan blasteran Portugis-Asia, yang sebagian didatangkan dari Malaka, setelah pelabuhan di Semenanjung Melayu direbut VOC dari tangan Portugis, pertengahan abad ke-17.

Pada saat itu sebutan Nyai dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai seorang istri simpanan.

Pergundikan kian marak karena praktik kumpul kebo dilakukan pula oleh para pedagang China, yang juga datang ke Batavia sendirian dari negeri asalnya.

Baca Juga: Terlepas dari Tugas Berburu Ulat, Para Gundik Era Kolonial Belanda Dapat 'Posisi Istimewa' hingga Timbulkan Kecemburuan di Kehidupan Para Buruh

(*)

Artikel Terkait